Lagu Marsinah besutan grup musik asal Jakarta, Marjinal, terngiang di telinga saya sepekan terakhir. Seolah-olah mengajak menyusuri lowong waktu menuju tiga dekade silam. Video lirik lagu tersebut samar-samar menampilkan potongan berita tentang buruh PT Catur Putra Surya di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, bernama Marsinah, yang diculik lalu dibunuh secara sadis pada masa Orde Baru.
Sang perempuan pejuang buruh itu menghilang selama tiga hari sebelum kemudian ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di kebun jati di kawasan Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur, pada 8 Mei 1993. Organ reproduksinya rusak akibat benda tumpul yang kemudian disebut sebagai tanda ia menjadi korban pemerkosaan.
Pelakunya tak terungkap sampai hari ini. Lirik-lirik tentang buruh dan perempuan yang ditulis band bergenre anarko-punk ini terdengar sangat sentimental. Perjuangan Marsinah mereka sampaikan sekaligus dalam dua album bertajuk Termarjinalkan dan Predator dalam dua versi berbeda.
Dalam lagu-lagu tersebut Marjinal menyatakan upaya Marsinah tak pernah sia-sia. Perjuangannya bersama serikat buruh berhasil mendorong kesejahteraan para buruh di Kabupaten Sidoarho dengan kenaikan gaji pokok hingga 20% pada 1992.
Setahun setelah lagu dirilis pada 2002, film dengan judul yang sama juga ditayangkan. Pemerintah meminta penundaan pemutaran film yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu karena dianggap membahayakan.
Cerita Marsinah dan perjuangan buruh perempuan tak pernah selesai. Momen May Day atau peringatan Hari Buruh Internasional pada Senin (1/5/2023) awal pekan ini mengingatkan kembali perihnya kisah perempuan di dunia industri dan budaya patriarki.
Dian Septi Trisnanti dalam buku berjudul Bertahan Hidup dan Diabaikan, Pengalaman 10 Buruh Ibu dalam Pusaran Pandemi menuliskan kisah beban ganda yang dialami para ibu yang menjadi buruh.
Ketika di pabrik, para ibu berstatus buruh itu harus tunduk pada kapitalisme. Mereka juga harus melakoni kerja-kerja reproduksi, seperti hamil, merawat anak, termasuk pengalaman pahit mengalami keguguran kehamilan.
Salah satunya kisah Ratmi. Perempuan buruh yang terlalu banyak menjalani kerja lembur dalam kondisi sedang mengandung mengalami pendarahan. Ratmi bekerja selama delapan jam di bagian quality control dengan posisi berdiri.
Kehamilan yang dialami Ratmi saat pandemi Covid-19 lalu merupakan kehamilan keempat. Di tengah pagebluk, suaminya hanya bekerja serabutan. Ratmi terus diuji. Setelah mengalami pendarahan karena sistem kerja yang tak berpihak kepada perempuan, ia terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK dengan pesangon hanya Rp30 juta.
Setelah kena PHK pada 2021, ia tinggal di bedeng sempit, harus berhemat, dan mengganti susu formula anaknya dengan yang lebih murah. Film yang disutradarai Lola Amaria pada 2010 berjudul Minggu Pagi di Victoria Park juga menggambarkan betapa perihnya jadi perempuan di Indonesia.
Drama yang disarikan dari kisah nyata tersebut mengangkat kisah Mayang yang dipaksa jadi buruh migran ke Hong Kong oleh ayahnya. Selain jadi tulang punggung keluarga, Mayang juga punya tugas khusus menemukan adiknya yang dikabarkan hilang sejak lama.
Mayang yang hanya berpendidikan rendah harus bertahan menjadi buruh migran dengan segala ketidaktahuannya. Hampir mirip dengan kisah para perempuan lainnya yang menjadi buruh migran yang seolah-olah selalu menjadi ujung tombak di tengah lemahnya ekonomi keluarga.
Iming-iming gaji besar membuat mereka menafikan keselamatan. Kerentanan buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan problem klasik dalam relasi industrial. Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja makin membuat perempuan merugi.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memiliki catatan kritis terhadap Undang-undang Cipta Kerja dalam urusan ketenagakerjaan karena punya potensi memundurkan pelindungan hak pekerja dan kepastian hubungan kerja yang dapat merugikan perempuan pekerja secara tak proporsional.
Sampai saat ini mayoritas buruh adalah perempuan. Mengutip feminis Marxist, kapitalisme memang sejak lama mengusung sistem relasi kuasa yang tidak setara. Ada muatan ketidakadilan. Perempuan dan kelompok minoritas adalah kelompok yang paling tertindas.
Bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan di dunia kerja, antara lain, diskriminasi upah kerja, kekerasan seksual, pemberhentian sepihak, eksploitasi tenaga kerja. May Day menjadi momentum penting untuk mengingatkan kembali hak buruh perempuan yang selalu dinomorduakan. Setidaknya, mari melanjutkan perjuangan Marsinah, yang mengorbankan nyawanya.
Sumber : Solopos