Rancangan undang-undang yang akan memberikan hukuman baru bagi wanita tak memakai jilbab di tempat umum, memicu perdebatan di Iran.
Sejak revolusi pada 1979, perempuan Iran wajib memakai jilbab di tempat publik. Yang melanggar akan dijatuhi hukuman denda dan penjara sampai maksimal dua bulan.
Beberapa waktu terakhir semakin banyak perempuan di Iran melanggar aturan. Mereka tampil tanpa jilbab di tempat umum.
Tren ini dipicu demonstrasi secara nasional pada September 2022 lalu, dipicu kematian Mahsa Amini. Perempuan 22 tahun itu ditangkap karena diduga melanggar aturan hijab.
Kematian Amini tidak hanya memicu protes namun berujung pula aksi kekerasan. Ratusan jiwa melayang dan ribuan lainnya ditangkap aparat.
Protes tersebut ternyata tidak membuat Pemerintah Iran goyah akan pendiriannya. Pemerintah dikuasai kelompok konservatif menyatakan, aturan jilbab longgar akan membuat perubahan besar dalam norma sosial di Iran.
Meski demikian, pemerintah dan pengadilan Iran tetap mengusulkan disahkan RUU Dukungan Budaya Jilbab dan Kesucian, yang ditujukan untuk melindungi kehidupan bermasyarakat dan memperkuat keluarga.
Salah satu yang menjadi bahan perdebatan adalah pemberian denda bagi siapa pun yang mencopot atau tak pakai jilbab di muka umum. Namun, UU baru ini mencabut ancaman hukuman penjara.
“RUU ini mengurangi pelanggaran jilbab dari kejahatan menjadi pidana ringan seperti pelanggaran lalu lintas tapi ada denda lebih berat,” ujar sosiolog Iran Abbas Abdi seperti dikutip dari AFP.
“Setelah kematian Amini unjuk rasa lanjutan, dan masyarakat tidak lagi menerima perempuan dipenjara karena tidak memakai jilbab,” sambung dia.
Pada UU baru ini, yang sudah diunggah pemerintah di berbagai media, pelanggar tidak langsung dihukum. Tapi, akan diberi peringatan lewat pesan teks.
Pelanggaran kedua baru akan dijatuhi denda sebesar lima juta sampai 60 juta rial Iran atau setara Rp 1.7 juta sampai Rp 21 juta. Selain denda lewat UU baru ini Pemerintah Iran akan menyita kendaraan perempuan Iran sampai 10 hari.
Kepala Hakim Iran Gholamhossein Mohseni Ejei menyatakan UU baru ini wajib diberlakukan. Sebab, ini ditujukan menghindari polarisasi masyarakat. Aturan berpakaian ini juga didukung kelompok keagamaan.
Sumber : Kumparan