Monday, December 9, 2024
Monday, December 9, 2024
Home » Membaca Zaman dan Melihat Kaum Perempuan Bukan Sebagai Figuran

Membaca Zaman dan Melihat Kaum Perempuan Bukan Sebagai Figuran

by Caesariana Tursia
0 comment

Kepada perempuan, Tuhan menitipkan kekuatan do’a dalam pangkuan. Pesona ragawi yang tak jarang membuat siapapun saja dibuat jatuh cinta, serta ide dan gagasan yang dituturkan buah pemikirannya dipenuhi muatan naluri keibuan. 

Bila kita memandang seorang perempuan setidaknya bisa kita dapatkan setelah membaca dan mempelajari kembali kisah awal penciptaan manusia. Sebelum Hawa diciptakan, Adam semula tampak baik-baik saja. Ia menikmati segala kemewahan fasilitas (surga) yang tiada tara. 


Bahkan, Ibnu Arabi, seorang tokoh besar Ilmu Tasawuf dalam kitabnya Fushus al-Hikam mengatakan bahwa memahami perempuan adalah tajalli yang paling baik untuk bisa menjumpai Tuhan. Di raganya diciptakan rahim, sumber kasih sayang dan kelembutan. 

Maka menjadi sesuatu yang tidak mengherankan, Ibnu Arabi dalam catatan perjalanan emosional spiritualnya berguru kepada beberapa ulama perempuan diantaranya: Fakhu an-Nisa, Qurrah a-Ain dan Sayyidah Nizham.


Cerita-cerita stigmatisasi dan marginalisasi kaum perempuan yang terbukti masih tetap berlangsung hingga zaman sekarang, zaman yang semakin supercanggih dengan segala teknologinya. Baik isu-isu yang diangkat media maupun fenomena-fenomena kehidupan perempuan di desa yang tak dilirik publik untuk ditelisik. 

Penulis sebagai pembaca karya-karya fiksi, novel misalnya, ada kemungkinan “representasi feminisme di novel Dilan Dia Adalah Dilanku 1990 karya ayah Pidi Baiq. 


Tulisan ini bertujuan sekadar untuk mendeskripsikan unsur permasalahan-permasalahan feminis serta menjelaskan bentuk-bentuk representasi feminis dalam novel Dilan 1990 karya Pidi Baiq, dengan menggunakan analisis representasi feminis yang digambarkan melalui sosok perempuan yang memiliki intelektualitas.

Bersumber dari novel “Dilan Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” karya Pidi Baiq, terbitan Pastel Books. Singkat kata, berdasarkan analisis yang dilakukan setelah membaca buku tersebut dapat disimpulkan novel “Dilan Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” karya Pidi Baiq terdapat permasalahan-permasalahan perempuan yang muncul dalam alur cerita novel seperti salah satunya kekerasan fisik, permasalahan percintaan kaum remaja, relasi dengan teman dan masyarakat, serta relasi dengan orang tua.


Bentuk-bentuk representasi dari permasalahan-permasalahan yang dialami oleh perempuan salah satunya seperti persamaan hak dan kewajiban, hubungan kekuasaan yang Sama serta ketiadaan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dibalik kisah cinta Dilan dan Milea yang menggugah rasa kagum para kaum muda dari sebuah hubungan percintaan. Tetapi dalam novel ini terdapat kekerasan fisik yang diakibatkan adanya macam-macam konflik yang menyebabkan munculnya tindak kekerasan fisik.

Kejadian kekerasan fisik diantaranya, tamparan dan pukulan serta beberapa adegan yang menggambarkan tusukan sajam. 


“Anhar berusaha menyingkirkan tanganku yang memegang kerah bajunya yang putih kecoklatan. Akan tetapi cengkramanku langsung di hempaskan oleh kedua tangannya. Kulihat matanya Anhar sudah mulai memerah dia mendorongku membuatku nyaris terjatuh untung bisa kutahan dengan cara memegang kuat kerah bajunya. 


“Neng, udah jangan berantem” kata Bi Eem. Sesaat kemudian, tiba-tiba Anhar menampar pipiku. Sangat keras sekali rasanya. Aku berusaha membalas tetapi mengenai bahu piyah” (Dilan 2014:Hal 310)


Terlepas itu semua, terdapat juga nilai-nilai moral yang ditemukan dalam novel “Dilan Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” ini yaitu hubungan manusia dengan diri sendiri yang terdiri dari percaya diri, mawas diri, bertindak hati-hati, pengendalian diri, berani mengakui kesalahan, penuh kasih, keterbukaan, dan kejujuran. 


Pergaulan remaja merupakan masa-masa yang istimewa dan sangat penting dalam pertumbuhannya. Karakter tokoh Dilan yang menampilkan idealisme laki-laki memang kerap dicari oleh remaja perempuan (tokoh: Milea) dalam masa-masa transisi. 

Dilan sosok tokoh dalam novel yang seakan-akan memancarkan pesona ‘Bad Boy’ yang membuat pembaca turut tertarik, bahkan barangkali jatuh cinta dengan tokoh fiksi tersebut. 


Novel ini telah membuka pintu pengetahuan dan pengalaman hidup manusia (Perempuan), bagi saya, Pidi Baiq tak hanya piawai mengolah kata-kata indah yang bernuansa canda, tetapi secara tidak langsung beliau merumuskan pemikiran wanita asli Indonesia dari tataran Sunda dimana tokoh Milea digambarkan, “perempuan dilihat bukan sebagai figuran”


Sebuah karya sastra berbentuk buku yang dibuat oleh seorang novelis atau pengarang yaitu novel, dapat digolongkan sebagai sebuah media massa. Pesan yang terkandung dalam sebuah novel merupakan dari hasil pemikiran dan perasaan si pengarang novel yang berperan sebagai komunikator yang menarik perhatian karena menyajikan gambaran realitas tentang potret dunia perempuan. 


Sehingga gambaran objektif tentang feminisme pada perempuan dapat tercapai dan juga dapat menjadi kerangka acuan dalam pembuatan novel khususnya bagi penulis atau pengarang novel agar semakin selektif dan kreatif dalam menggambarkan dan menyajikan sebuah karya sastra sebagai bagian dari media massa.


Dengan demikian karya fiksi atau sastra dapat disimpulkan bahwa sebuah karya yang menceritakan berbagai macam problema atau masalah biduk kehidupan manusia yang bersifat rekaan, rekayasa, atau khayalan yang tidak pernah terjadi atau ada dan tidak harus ditelusuri atau dicari kebenarannya di dunia yang nyata ini. 


Ada sebuah kutipan menarik dari Pidi Baiq, Pria kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972 ini; “Cinta itu dirasakan bukan dipikirkan, ia lebih butuh balasan daripada alasan.”

Sumber : Jabar

You may also like

Wanita Berita LLC adalah sumber utama Anda untuk berita dan pembaruan terkini. Kami berusaha memberikan pembaca kami konten yang akurat, mendalam, dan menarik tentang berbagai topik. Tetap terinformasi dengan Wanita Berita!

Wanita Berita, A Media Company – All Right Reserved.