Program Officer HAM & Demokrasi INFID Rizka Antika mengatakan bahwa kultur budaya masih menjadi faktor penghalang representasi perempuan dalam politik. “Selain dari aspek regulasi, tantangan dari segi akses dan kultur budaya juga berpengaruh terhadap eksistensi perempuan dalam politik,” kata Rizka dalam talkshow ‘International Women’s Day 2023: Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan’, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Menurutnya, pembatasan akses tersebut terjadi karena adanya stereotip gender dan ekspektasi peran terhadap perempuan, yang pada akhirnya kapasitas perempuan diragukan sebagai figur pemimpin.
“Dari awal, politik didesain untuk dan oleh laki-laki. Ketika perempuan ingin masuk ke ranah politik, ketika baru masuk saja itu sudah memberikan harga yang besar untuk dibayar,” jelasnya.
Padahal, lanjut Rizka, pendekatan kepemimpinan yang lebih feminin ini lebih berhasil ketika berhadapan dengan krisis. Hal itu tampak dari keberhasilan pemimpin wanita di dunia yang sukses mengatasi pandemi Covid-19. Ia mencontohkan, Kanselir Jerman, Angela Merkel, melakukan pengawasan untuk program pengujian virus corona di Jerman yang menjadi skala terbesar di Eropa. Sekitar 350 ribu tes dilakukan setiap minggunya. Upaya ini berhasil mendeteksi virus lebih awal sehingga isolasi dan perawatan pasien menjadi efektif.
“Perlu dibuka ruang untuk varian baru dalam tipe karakteristik kepemimpinan, bahwa ciri khas perempuan ini yang menjadi kekuatan perempuan,” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Perludem Nurul Amalian Salabi menyoroti perihal kurangnya representasi perempuan dalam politik dan parlemen di Indonesia semakin relevan menjelang tahun politik 2024. Ini tercermin dari beberapa indikator. Misalnya, wacana bakal calon presiden dan wakil presiden yang didominasi figur laki-laki.
“Itu terbukti, jumlah anggota legislatif DPR RI perempuan belum pernah menyentuh kuota 30 persen sesuai target UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu,” kata dia. “Secara nasional, gap representasi perempuan dalam politik dan parlemen masih cukup jauh dari regulasi pemilu,” imbuh Amel. Berdasarkan hasil pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya 20,8 persen, masih jauh dari ketentuan di UU Pemilu No 7/2017 yang menetapkan angka minimal keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen. Karenanya, ia menilai partai politik memegang peranan sentral dalam membuka keran keterwakilan perempuan. Salah satunya adalah praktik pencalonan perempuan hanya untuk mengisi kuota. “Kaderisasi yang tidak berjalan. Dalam UU Pemilu itu ada, tetapi hanya satu, mengatur minimal 30 pesen kepengurusan perempuan. Salah satu kajian menunjukkan bahwa ketika partai politik memasukkan 30 persen kepemimpinan perempuan dalam DPP itu hanya pada saat menjelang pemilu” ungkapnya.
Sumber: NU