Friday, May 17, 2024
Friday, May 17, 2024
Home » Prancis dan ‘Obsesinya’ Terhadap Perempuan Muslim

Prancis dan ‘Obsesinya’ Terhadap Perempuan Muslim

by Asri Rustam
0 comment

 Larangan abaya bagi siswa muslim di Prancis menambah daftar panjang aturan-aturan pemerintah terhadap muslim. Hal ini juga semakin memperlihatkan obsesi elite politik Prancis terhadap tubuh perempuan muslim.

Penulis bernama Fariz Hafez menyebut ada satu peristiwa yang menjadi awal mula kegaduhan di negara tersebut. Peristiwa itu dimulai dengan pengusiran seorang gadis berusia 13 tahun pada 1989, yang berujung pada sejumlah peraturan yang membatasi akses perempuan berhijab terhadap pendidikan.

Dilansir di Yeni Safak, Senin (18/9/2023), larangan hijab mulai muncul pada 2004. Kala itu, Prancis melarang penggunaan pakaian yang dianggap terlalu “mencolok”. Kini, muncul perdebatan yang berlangsung selama berbulan-bulan tentang pelarangan abaya.

Menteri Pendidikan dan Pemuda Nasional yang baru diangkat, Gabriel Attal, menggunakan larangan tersebut untuk memperkenalkan dirinya kepada khalayak luas. Pengumuman larangan abaya ia sampaikan dalam wawancara pertamanya, pada akhir Agustus. Keputusannya ini sepenuhnya didukung oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan mengatakan akan menegakkan larangan tersebut tanpa kompromi.

Profesor Studi Perancis di Virginia Wesleyan University AS, Alain Gabon, mengkritik hal tersebut. Ia menyebut larangan itu diterapkan tepat ketika sistem sekolah negeri telah runtuh karena berbagai masalah struktural, termasuk gaji yang sangat tidak mencukupi, hilangnya pertimbangan dan status sosial bagi para guru, kondisi kerja yang semakin sulit, serta tingginya tingkat kelelahan, kecemasan dan depresi.

“Dengan kata lain, pelarangan ini tampaknya menjadi pengalih perhatian yang berguna. Mengalihkan perhatian dari kegagalan politik yang berdampak pada seluruh masyarakat Perancis, ke keburukan negara pascakolonial Perancis,” ujar Hafez.

Argumentasi elite politik Prancis pun telah ternoda secara ideologis. Perdana Menteri Elisabeth Borne dan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin berpendapat bahwa abaya merupakan tanda “proselitisme”. Hafez menilai upaya untuk memperjuangkan sekularisme dan mempertahankan peraturan, dengan memanfaatkan gagasan pemisahan gereja dan negara telah lama berubah menjadi paternalisme pasca-kolonial.

Di satu sisi, hal ini juga seolah menunjukkan sikap kolonialis laki-laki kulit putih yang menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari laki-laki berkulit coklat, seperti Gayatri Chakravorty Spivak yang terkenal mencirikan kompleks superioritas penjajah Eropa. Di sisi lain, hal ini menunjukkan problematisasi ruang yang tidak diatur secara efisien oleh rezim pasca-kolonial.

Banlieue, selaku wilayah perkotaan miskin yang menjadi tempat tinggal orang-orang kulit berwarna dan terutama banyak Muslim, telah lama menjadi wilayah yang sangat terpolitisasi. Lokasi ini dianggap sebagai wilayah ghetto republik sekuler, sebuah ghetto budaya yang harus diawasi dan merupakan tempat tinggal kaum kulit hitam dan coklat yang kurang bermartabat.

Adapun sejak tahun ajaran baru dimulai, sejumlah video tersebar di seluruh dunia yang menunjukkan bagaimana petugas keamanan memeriksa pakaian setiap siswi. Video yang diunggah di media sosial menunjukkan para remaja putri melepas pakaian lebar mereka, yang disebut abaya, sesuai dengan disiplin polisi.

Meskipun abaya pada umumnya adalah jubah longgar dan panjang yang dikenakan oleh sebagian wanita Muslim sebagai tanda kesopanan mereka, tetapi tidak mudah untuk menentukan pakaian mana yang memenuhi kriteria abaya dan mana yang tidak. Di sisi lain, pakaian tersebut sebetulnya tidak mewakili pakaian keagamaan tertentu.

“Oleh karena itu, pembatasan ini dapat dibaca sebagai langkah lain yang mengungkapkan betapa banyak tubuh Muslim yang telah mengalami rasialisasi. Prancis menjadi anggota kelompok rezim otoriter lainnya, seperti Afghanistan dan Iran, yang mendikte perempuan tentang apa yang boleh mereka kenakan dan apa yang tidak boleh mereka kenakan,” ucap Hafez.

Beberapa ratus anak perempuan yang bersekolah dengan mengenakan abaya dilaporkan harus dipulangkan ke rumah mereka. Hal ini memantik protes kebijakan diskriminatif dan menggunakan pembangkangan sipil sebagai bentuk politik, yang mana pemerintah membingkai abaya tidak hanya sebagai agama tetapi juga politik.

Juru bicara pemerintah, Olivier Veran, menambahkan argumen bahwa abaya mewakili agama dengan mengatakan itu adalah serangan politik, sebuah tanda politik. Pada kenyataannya, ini merupakan langkah lebih lanjut menuju pengawasan yang lebih ketat terhadap pihak-pihak yang terpinggirkan di Prancis.

Pemerintah Prancis juga mengumumkan 14.000 personel pendidikan yang menduduki posisi kepemimpinan akan dilatih pada akhir tahun ini, serta 300.000 personel akan dilatih pada tahun 2025, untuk menerapkan dan memantau peraturan tersebut. Ini seolah menegaskan Pemerintah Prancis akan semakin membatasi perempuan Muslim dan kemampuan untuk bergerak bebas sesuai keinginannya, sekaligus semakin memperkuat negara otoriter.

Sumber : Republika

You may also like

Soledad is the Best Newspaper and Magazine WordPress Theme with tons of options and demos ready to import. This theme is perfect for blogs and excellent for online stores, news, magazine or review sites. Buy Soledad now!

Wanita Berita, A Media Company – All Right Reserved.