acap kali mendapat perlakuan diskriminatif hanya karena identitasnya perempuan. Dalam Universal Periodic Review 2022, hasil pantauan Human Rights Council terhadap Indonesia, didapati bahwa Indonesia masih memiliki dan menjalankan ketentuan dan praktik hukum yang bersifat diskriminatif gender. Peraturan yang tidak responsif terhadap kepentingan perempuan akan berdampak pada terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan, sekalipun berbagai peraturan perundang-undangan tersebut awalnya bertujuan untuk menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki. Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Hukum Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) merupakan instrumen yang dapat diijadikan acuan dalam melihat jenis-jenis hak asasi manusia yang khusus bagi perempuan. CEDAW merupakan satu-satunya perjanjian hak asasi manusia internasional yang didedikasikan secara eksklusif untuk hak-hak perempuan.
Setiap negara yang menandatangani konvensi tersebut terikat pada kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi perempuan. Indonesia telah meratifikasi CEDAW. Dengan demikian, ketidakpatuhan Indonesia dalam merancang dan memberlakukan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan konvensi dapat dinilai sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak asasi perempuan. Pada laporan terbaru Komisi CEDAW, sebagai data pelengkap untuk The Fourth Cycle Universal Periodeic Review – Indonesia, dijelaskan sejumlah peraturan perundang-undangan yang masih belum berpihak pada perempuan dari berbagai aspek kehidupan. Berbagai hal yang belum berpihak itu mencakup antara lain kerangka konstitusional dan legislatif, mutilasi alat kelamin perempuan, kekerasan berbasis gender, perdagangan dan eksplotasi prostitusi, kewarganegaraan, pekerjaan, kesehatan, perempuan masyarakat adat, perempuan lesbian, biseksual, transgender, dan interseks, serta perkawinan dan hubungan keluarga. CEDAW mencatat, saat ini masih terdapat 421 peraturan daerah dan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, termasuk peraturan wajib berhijab. Walau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan telah secara eksplisit menyatakan mutilasi alat kelamin perempuan dan sunat bukan merupakan perawatan medis.
Namun peraturan itu tidak melarang mutilasi alat kelamin perempuan ataupun menjatuhkan sanksi bagi yang melakukannya. CEDAW juga menyebutkan, penanganan kekerasan berbasis gender masih mengalami kendala secara hukum, seperti definisi perkosaan yang hanya didasarkan pada penetrasi penis, kegagalan untuk mengkriminalisasi perkosaan dalam perkawinan di bawah KUHP, dan tidak adanya referensi perkosaan maupun perkosaan dalam perkawinan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Selain itu, korban kekerasan berbasis gender online dapat dituntut berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), dan Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, meskipun terdapat fakta bahwa mereka tidak menyetujui penyebaran konten intim. CEDAW juga menyatakan, masih terdapat kekurangan informasi mengenai penegakan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, belum terdapat sistem identifikasi dini dan rujukan baku, pemulihan dan bantuan reintegrasi bagi korban perdagangan orang, serta kurangnya pemahaman polisi dan aparat penegak hukum lainnya tentang prosedur sensitif gender untuk menangani korban perdagangan orang. Terkait persoalan kewarganegaraan, CEDAW mencatat pengecualian bagi anak-anak yang lahir dari ibu Indonesia dan non-Indonesia sebelum tahun 2006 untuk memperoleh kewarganegaraan masih terjadi, dengan adanya Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Beberapa permasalahan hukum yang masih terjadi bagi perempuan dalam mengakses pekerjaan juga dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satunya masih dikecualikannya perempuan sebagai pemegang hak dalam ruang lingkup UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Perempuan pekerja di sektor jasa juga mendapatkan diskriminasi dalam hukum. Hingga saat ini banyak perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pekerja migran, tetapi masih terdapat keterbatasan dalam mengimplementasikan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Permasalahan terbaru muncul setelah adanya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang secara proporsional dapat memengaruhi mata pencaharian dan pekerjaan perempuan yang seharusnya memperoleh jaminan perlindungan, termasuk perlindungan upah lembur, perlindungan dari pemutusan hubungan kerja, dan hak perempuan atas cuti berbayar. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan masih membatasi akses terhadap kontrasepsi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Pembatasan tersebut dapat menghalangi perempuan dan anak perempuan mendapatkan akses yang efektif terhadap informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk pendidikan seksualitas yang sesuai dengan usia dan metode kontrasepsi modern.
Selain itu, adanya Pasal 75 dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah menyebabkan perempuan melakukan aborsi yang tidak aman. Hal ini karena terdapat keterbatasan dalam melakukan aborsi legal berdasarkan jangka waktu, yaitu maksimal enam minggu masa kehamilan, dan hanya dalam kasus perkosaan atau ancaman terhadap kehidupan perempuan hamil atau janin. Persyaratan hukum pun harus diperoleh untuk melakukan aborsi legal, seperti persetujuan suami, atau dalam hal perkosaan, surat dokter dan keterangan resmi dari ahli mengenai dugaan perkosaan, yang menyebabkan perempuan melakukan aborsi yang tidak aman. CEDAW juga mencatat pelemahan perlindungan lingkungan dengan menghapus persyaratan Izin Lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) telah mengancam akses perempuan adat atas tanah, dengan diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Selain itu, terdapat peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan lesbian, biseksual, dan transgender, seperti Qanun Jinayat Aceh. Sementara diskriminasi terhadap perempuan dalam perkawinan dan hubungan keluarga dapat dilihat dari UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pengaturan tersebut dapat dilihat dari masih adanya ketentuan yang mengizinkan poligami pada Pasal 3, 4 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan, ketentuan yang menetapkan bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga pada Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan dan Pasal 105 dan 106 KUHPer, ketentuan yang mendiskrimasi perempuan dalam hak hak waris, dan ketentuan yang mengecualikan perempuan muslim dari perkawinan dan perceraian berdasarkan KUHPer.
Berbagai ketentuan hukum itu berpotensi untuk memarginalkan perempuan. Keadaan tersebut terjadi dengan didasarkan pada hubungan antara hukum dengan relasi kuasa yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Hukum pada dasarnya dibuat dengan perspektif patriarkis yang berakibat pada lebih dilindunginya kepentingan laki-laki daripada perempuan. Hukum-hukum yang seperti itu justru menyuburkan praktik ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Ketentuan Hukum yang Responsif Gender Perlindungan terhadap hak perempuan dapat dilakukan dengan perumusan hukum yang responsif gender dan pencabutan hukum yang tidak berpihak kepada perempuan. Hukum harus membuat masyarakat menjadi ruang yang lebih baik bagi perempuan. Berkaitan dengan upaya untuk mencapai hukum responsif gender, Komisi CEDAW memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan berikut: Pemerintah dapat mengubah atau mencabut semua peraturan dan kebijakan yang diskriminatif. Pemerintah diharapkan bisa mengkriminalisasi segala bentuk mutilasi alat kelamin perempuan dengan memastikan bahwa kriminalisasi tersebut tidak dapat dibatalkan oleh keputusan lain yang dikeluarkan oleh otoritas agama.
Pemerintah juga diharapkan dapat merevisi KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU terkait untuk mengkriminalkan semua bentuk kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan, dan mendefinisikan perkosaan berdasarkan kurangnya persetujuan daripada penetrasi atau penggunaan kekerasan, serta mengubah UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE untuk memastikan bahwa korban kekerasan berbasis gender online tidak dapat dituntut jika gambar intim mereka disebarluaskan tanpa persetujuan mereka. Pemerintah diharapkan bisa memastikan identifikasi dini dan rujukan perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban perdagangan ke layanan yang tepat. Pemerintah juga memberikan pelatihan sistematis kepada aparat penegak hukum terkait implementasi efektif pedoman metode identifikasi korban dan interogasi berperspektif gender, serta memperkuat dukungan bagi korban perdagangan manusia, dengan memastikan bahwa mereka menerima perlindungan dan memiliki akses yang memadai ke layanan konseling dan rehabilitasi, reparasi, dan kompensasi. Pemerintah juga agar bisa memastikan bahwa kewarganegaraan Indonesia diberikan kepada anak-anak yang lahir dari ibu Indonesia dan non-Indonesia sebelum tahun 2006, dengan maksud untuk mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan (stateless).
Pemerintah menjamin perlindungan untuk cuti melahirkan, haid, dan menyusui yang dibayar, dan memastikan bahwa perempuan akan dilindungi dari kerja lembur paksa yang tidak dibayar, meskipun terdapat perubahan jam lembur dan ketentuan pengupahan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah agar mencabut UU dan peraturan yang membatasi akses terhadap kontrasepsi, serta memperpanjang waktu menjalani aborsi, melegalkan aborsi dalam kasus inses dan gangguan janin yang parah selain perkosaan dan ancaman terhadap nyawa perempuan hamil, mendekriminalisasinya dalam semua kasus lain dan menyediakan layanan aborsi dan pasca-aborsi yang aman. Pemerintah bisa mempercepat upaya melindungi hak perempuan adat untuk menggunakan sumber daya alam dan tanah, termasuk memperluas ruang lingkup masyarakat hukum adat, dan mencabut atau mengubah UU yang melemahkan hak perempuan adat atas penggunaan tanah, termasuk UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pemerintah diharapkan mengadopsi langkah-langkah legislatif dan kebijakan untuk memerangi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan lesbian, biseksual dan transgender dan orang-orang interseks, termasuk ujaran kebencian dan pelecehan fisik, verbal. dan emosional. Pemerintah diharapkan menghapuskan pengecualian larangan perkawinan bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk melarang dispensasi usia perkawinan secara yuridis, mencegah tradisi perkawinan patriarki seperti ijbar dan muhrim, dan meminta persetujuan penuh dari perempuan dalam semua perkawinan, serta mengubah ketentuan diskriminatif dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, KUHPer, dan ketentuan diskriminatif lainnya, dengan maksud untuk melarang poligami, memastikan persamaan hak waris bagi perempuan dan laki-laki, dan membuat perkawinan sipil dan perceraian dapat diakses oleh semua perempuan.
Sumber : Kompas