Dua puluh empat tahun Indonesia menjalani reformasi, sudah seharusnya diskursus mengenai partisipasi perempuan dan kesetaraan gender di bidang politik melampaui aspek kuantitas, sehingga lebih banyak fokus pada substansi. Namun faktanya, representasi perempuan dalam politik masih jauh dari harapan.
Berdasarkan Global Gender Gap Report yang dirilis World Economic Forum pada Maret 2021, posisi Indonesia ada di peringkat ke-101 dari 156 negara yang dilakukan pengukuran. Dalam bidang politik, Indonesia menempati urutan ke-92 dunia dengan skor 0,164. Potret ini menunjukkan masih terdapat problem serius dalam praktik elektoral di Indonesia.
Padahal, perempuan memiliki posisi strategis dalam pembangunan politik dengan modal kekuatan jumlah pemilih perempuan yang mencapai 50,07% dan 51,45% yang menggunakan hak pilihnya di TPS pada Pemilu 2019 semestinya mampu mendongkrak keterpilihan perempuan di parlemen karena memiliki potensi besar untuk mendulang suara. Meskipun, jumlah keterpilihan perempuan di parlemen mengalami peningkatan pada pemilu terakhir yakni sejumlah 118 orang atau setara 20,52% di DPR, 31% di DPD RI, tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota jauh lebih rendah lagi.
Merujuk studi Aspinall dan Berenschot (2019) tentang konteks demokrasi di Indonesia kekinian, hasil temuannya di Pemilu 2019, perempuan yang terpilih di parlemen adalah mereka yang memiliki relasi patronase dan strategi klientalisme mendominasi dalam kompetisi pemilu di tingkat nasional ataupun lokal.
Di sisi lain, riset yang dilakukan oleh Puskapol UI memperlihatkan bahwa ternyata keterpilihan perempuan berdasarkan no urut masih sangat tinggi, yakni 48% di nomor urut satu dan 25% di nomor urut dua. Hal ini disinyalir terjadi adanya upaya sistematis atau kesengajaan dari berbagai pihak, termasuk para pengurus partai politik. Kandidat perempuan mungkin sengaja ditempatkan di nomor urutan tertentu, sehingga mengecilkan kemungkinan calon legislatif perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif (Jurnal Perempuan, 2003).
Apa yang terjadi di Pemilu 2019 semestinya menjadi bahan evaluasi agar Pemilu 2024 dapat menyusun strategi kampanye efektif untuk memenangkan pemilu. Pemilih perempuan menjadi target potensial mengingat jumlah pemilihnya lebih besar dibandingkan dengan pemilih laki-laki. Mengutip data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024 sebanyak 205.835.518 pemilih dengan rincian 102.847.040 pemilih laki-laki dan 103.006.478 pemilih perempuan yang tersebar di 514 kabupaten/kota, 7.227 kecamatan, 83.860 desa/kelurahan dan 823.287 TPS.
Dengan jumlah pemilih perempuan yang sangat potensial, harapannya perempuan tidak dijadikan sebagai objek dalam kontestasi politik lima tahunan, tetapi diberikan tempat untuk mengisi 30 persen keterwakilan di masing-masing tingkatan parlemen. Dengan demikian, perempuan bisa menjadi subjek yang setara dengan laki-laki untuk menyuarakan kebijakan bagi kaumnya (Kompas, 4/5). Partisipasi perempuan dalam politik bisa terlibat sebagai bacaleg, kepengurusan partai politik, tim kampanye, kandidat kepala daerah, penyelenggara pemilu ataupun pemantau pemilu.
Jauh dari Angka Minimal
Tetapi, partisipasi perempuan dalam politik jauh dari angka minimal 30%. Hal ini diperparah dengan pelibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu yang dinilai masih minim. Proses seleksi penyelenggara Pemilu 2022-2027, masing-masing hanya menghasilkan satu orang keterwakilan perempuan di KPU, Bawaslu dan DKPP. DPR nyatanya tidak memiliki komitmen kuat untuk menginternalisasikan amanat Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dimana komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Rendahnya keterwakilan perempuan di tingkat pusat ternyata memiliki dampak serius sampai KPU dan Bawaslu Provinsi serta kabupaten/kota. Kehadiran perempuan secara langsung menjadi penting untuk mewujudkan keadilan elektoral. Berdasarkan rilis media Puskapol UI, seleksi gelombang pertama di 25 Bawaslu Provinsi, dari total 75 anggota Bawaslu terpilih, hanya menghadirkan 11 perempuan (14,67%) yang menjadi komisioner.
Seleksi gelombang pertama di 20 KPU Provinsi juga tidak jauh berbeda. Hanya 6 provinsi yang timselnya memenuhi keterwakilan perempuan 30%. Padahal, keterlibatan perempuan di tim seleksi yang memiliki perspektif gender secara komprehensif sangat berarti bagi terciptanya pemilu yang inklusif. Masih minimnya perempuan yang menjadi tim seleksi, baik secara kuantitas maupun kualitas, menyebabkan kemungkinan perempuan untuk duduk di lembaga penyelenggara pemilu daerah semakin kecil.
Ancaman Penurunan
Terbitnya Peraturan KPU 10 Tahun 2023 menjadi ancaman penurunan keterwakilan perempuan di parlemen untuk Pemilu 2024. Dalam klausul Pasal 8 terkait dengan persyaratan pengajuan bakal calon menyebutkan bahwa daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap dapil dan setiap tiga orang bakal calon pada susunan daftar bakal calon wajib terdapat paling sedikit satu orang bakal calon perempuan.
Namun, lebih lanjut dalam poin berikutnya diungkapkan dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah, sementara 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan Pasal 248 UU 7 Tahun 2017 mengenai verifikasi kelengkapan administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Ketika dilakukan pembulatan ke bawah, berarti tidak genap 30%. Sebagai contoh, jika jumlah bacaleg di satu dapil itu tujuh orang, maka hanya perlu menghadirkan dua orang bacaleg perempuan. Artinya, representasi perempuan di dapil tersebut kurang dari 30%.
Sangat berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang jelas dan tegas penghitungan 30% di setiap dapil menghasilkan pecahan dilakukan pembulatan ke atas. Aturan pembulatan yang ditetapkan KPU melalui Peraturan KPU 10 Tahun 2023 berisiko merugikan bacaleg perempuan dan dapat dipastikan bacaleg perempuan yang didaftarkan mengalami penurunan termasuk juga pada tingkat keterpilihannya. Pemilu inklusif yang kerapkali digaungkan hanya sebatas simbol belaka.
Tantangan lain juga adalah komitmen partai politik yang tidak sungguh-sungguh dalam mengawal bacaleg perempuan. Dengan adanya aturan pembulatan yang diuntungkan memang parpol karena tidak perlu repot dan terbebani dengan mencari bacaleg perempuan. Salah satu kesuksesan keterpilihan perempuan di politik ditentukan oleh regulasi. Tatkala regulasi semakin dilemahkan karena terasosiasi kuat dengan kepentingan, Maka, afirmasi hanya sekadar basa-basi. Demokrasi belum sepenuhnya menggembirakan dan hadir untuk perempuan.
Sumber : Detik