“Bukan pandangan orang lain tentangmu yang membentuk dirimu, pandanganmu sendirilah yang membentuk dirimu.” (kutipan dari drama Dr. Romantic)
Merdeka adalah sebuah kata yang biasa digunakan untuk mewakili banyak sekali emosi di dalam kehidupan, ada bahagia, bebas, haru, dan lain sebagainya. Merdeka berhasil menjadi satu kata yang sangat dinantikan oleh mereka yang merasa terkekang. Merdeka hadir untuk membebaskan para umat manusia dari kejamnya belenggu dunia. Namun, di era yang penuh akan tuntutan ini, sudahkah kita merasa merdeka? Bukan, bukan merdeka atas fisik yang sedang dipertanyakan, melainkan merdeka secara jiwa dan pemikiran.
Di dunia yang penuh akan perhitungan antara untung dan rugi, hal semacam batasan tentunya sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, saat ini batasan ternyata tidak hanya tercipta akibat kurangnya kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu, bisa juga karena adanya pembatas tak kasat mata yang diberikan oleh masyarakat sekitar untuk meminimalisir adanya pergerakan dari suatu kelompok dalam mengekspresikan diri.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, tentunya saya sebagai seorang penulis merasa sangat tertarik untuk mengangkat isu tersebut menjadi sebuah karya literasi. Bukan hanya karena bisa mengulik lebih dalam beberapa contoh dari Tali Kekang yang selama ini sering menahan kaum perempuan, tapi juga saya berharap, dari tulisan ini para perempuan diluar sana jadi lebih mampu menghargai nilai dari dirinya tanpa menghiraukan batasan gender, sehingga bisa meneruskan perjuangan para pahlawan emansipasi wanita yang sudah bergerak sejak lebih dari seratus empat puluh empat tahun yang lalu.
Sejak zaman orde baru pemerintahan, Negara Republik Indonesia perlahan mulai membuka mata terkait isu kesetaraan gender yang sedang marak diperbincangkan. Pemerintah yang merupakan perwakilan dari suara-suara rakyat, pada akhirnya menyadari pentingnya implementasi dari kesetaraan gender dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, terkait Pengesahan Konvensi mengenai Peghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Tidak berhenti sampai disitu, masyarakat juga mulai bergerak dengan membuat komunitas-komunitas yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak Perempuan dan juga kesetaraan gender di berbagai sektor, misalnya dalam ranah politik, pendidikan, karir, dan masih banyak lagi. Meski sering kali mengalami pro dan kontra, namun pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus mulai mengesampingkan ego untuk berjalan secara beriringan, karena faktanya, kata “kesetaraan” hanya dapat dicapai apabila seluruh lapisan masyarakat saling bekerja sama untuk mewujudkannya.
Melihat perkembangan teknologi dan mulai terbukanya pikiran masyarakat terhadap isu kesetaraan gender, mungkin membuat sebagian besar masyarakat berpikir bahwa kesenjangan yang tercipta antara laki-laki dan perempuan telah sirna. Namun faktanya, meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk mendukung tercapainya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, kata “kesetaraan” tetap tidak akan pernah bisa tercapai apabila masyarakat masih belum bisa memahami tentang pentingnya prespekfit gender. Mungkin memang benar bahwa saat ini dunia sudah menyediakan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mengejar apa yang mereka cita-citakan, tapi nyatanya doktrin yang ditujukan oleh masyarakat terhadap perempuan memiliki andil yang cukup besar dalam menahan mereka untuk membuat langkah yang lebih lebar lagi.
Sebagai seorang perempuan, kehadiran Stereotype dan Toxic Feminisme tentunya menjadi tali kekang bagi kita dalam membuat sebuah pencapaian. Seakan harus mengorbankan salah satunya, kita selalu diburu oleh pertanyaan, “Ingin meneruskan karir atau menjadi seorang Ibu Rumah Tangga?.” Padahal nyatanya, sejak kecil perempuan itu selalu Multiperan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita membuat sebuah perubahan. Mengangkat kepala dan menegakan badan, lalu membuktikan bahwa kita mampu untuk menembus batasan tak kasat mata yang selama ini memenjarakan. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Leli Nurohmah, seorang aktivis yang memiliki concern di dunia kesetaraan gender selama kurang lebih dua puluh tahun, dalam wawancaranya pada hari Rabu, tanggal 5 Juli, tahun 2023, bahwasannya “tugas kita adalah memberikan pemahaman dan meyakini bahwa dunia ini sangat beragam. Kuncinya ada di pilihan, pilihan pribadinya dan bukan dari tekanan orang lain.”
Mematahkan pandangan dunia mungkin memang cukup menakutkan, tapi sekali-kali kita harus berani untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi serta mimpi yang kita miliki. Meski membuat pilihan sering kali menjadi tantangan, tapi pada akhirnya kita harus memberanikan diri untuk memerdekakan pemikiran dan jiwa kita dari tuntutan dunia. Sudah terhitung tujuh puluh delapan tahun lamanya sejak Indonesia dinyatakan merdeka, dan sudah terhitung lebih dari seratus empat puluh empat tahun lamanya sejak perempuan mulai memperjuangkan hak-hak nya dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya bagi kita, perempuan di zaman modern, untuk mulai membuat dobrakan-dobrakan besar lainnya untuk menghargai mereka yang gugur, diasingkan, dan dipandang rendah akibat memperjuangkan emansipasi wanita yang dapat dengan mudah kita nikmati saat ini. “Jangan memikirkan pandangan-pandangan orang disekitar kita yang akan menghambat kita melangkah. Karena saya yakin, kita semua punya potensi apabila kita diberikan kesempatan yang sama. Kalau kita bekerja keras, kita pasti bisa meraih apa yang kita inginkan, tanpa merasa dibatasi oleh jenis kelamin,” ucap Ibu Leli Nurohmah di akhir wawancaranya.
Pada akhirnya, apa yang menjadi belenggu perempuan selama ini sebenarnya bukan hanya anggapan yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka, tapi juga keraguan yang mereka miliki terhadap diri sendiri. Terkadang, kita memang terlalu terpaku dengan sesuatu yang belum tentu terjadi, pandangan dan batasan yang diberikan kepada kita akhirnya mendukung krisis kepercayaan diri yang kita alami. Oleh karena itu, sebagai perempuan yang hidup di era modernisasi, sudah seharusnya kita meningkatkan value diri sehingga mampu membuat kita percaya bahwa kita mampu untuk menembus semua batasan yang diberikan oleh lingkungan, masyarakat, dan diri sendiri.
Source : Kompasiana