Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) selalu merayakan Asosiasi Perempuan Internasional (IWA) berkaitan dengan program “Penyetaraan Pria dan Wanita dalam Industri Penerbangan” (Parties of Male and Female in Aviation Industries). Program ini diangkat oleh Dr Fang Liu dan diputuskan pada saat kepemimpinannya sebagai Sekretaris Jenderal ICAO dalam sidang umum tahun 2016.
Sidang umum tersebut menargetkan wanita yang bekerja di bidang penerbangan pada 2030 harus mencapai 50 persen sehingga tidak ada ketimpangan antara pria dan wanita di industri ini.
Keputusan sidang umum tersebut disambut oleh IWA karena merupakan bagian dari perjuangan mereka atas penyetaraan antara pria dan wanita.
Perempuan dalam penerbangan
Sebenarnya wanita telah berperan sejak lahirnya dunia penerbangan, seperti dilakukan oleh Raymonde de Laroche dan Amelia Mery EarHart, yang telah mendarat di Bandung tahun 1937 dan ke Kupang dalam rangka penerbangan keliling dunia.
Ada pula Anny Divya sebagai penerbang paling muda di dunia pada waktu itu dan Elle Lie, dispatcher di China. Ada juga Kiran Jain yang ahli pemasaran di India, Rita Rosca seorang ATC di Portugal, serta Dr Fang Liu.
Tokoh-tokoh wanita penerbangan di Indonesia juga banyak, antara lain Tince Sumartini dan Siti Rahayu Sumadi. Siti merupakan penerbang sekaligus direktur utama dari suatu perusahaan penerbangan.
Ada pula Polana Banguningsih Pramesti, Umiyatun Hayati Triastuti, Maria Kristi Endah Murni, Yudhi Sari Sitompul,Susi Pudjiastuti, Ituk Herarindri, Tina T Kemala Intan, Capt Ida Fiqriah, Capt Esther Gayati Saleh, dan Vini Noviawati.
Di kalangan TNI Angkatan Udara, tercatat ada perempuan penerbang pertama Letda Lulu Lugiyati dan Letda Pnb Hardini.
Pada 1963, ada 30 orang wanita udara (wara) yang lolos mengikuti pendidikan di Kaliurang, Yogyakarta. Tiga orang di antaranya sebagai penerbang wanita.
Dalam perkembangannya, sekarang terdapat penerbang tempur wanita di TNI AU yang dilantik oleh Gubernur Akademi Angkatan Udara (AAU) Marsekal Muda Abdul Muis pada 12 Agustus 2015. Dan, masih banyak sekali tokoh wanita penerbangan yang harus disebutkan. Sebenarnya seluruh bidang penerbangan sudah dilakukan oleh wanita pada tataran global, regional, maupun nasional. Karena dukungan kecerdasan manusia (interlectual intelligence), pekerjaan yang semula hanya dapat dilakukan oleh pria, kini juga dapat dikerjakan kaum wanita meskipun jumlahnya relatif kecil. Sebagai contoh, ada 31 orang dewan Gubernur IATA, tetapi wanitanya hanya seorang. Keputusan Fang Liu dalam Sidang Umum ICAO 2016 didukung sepenuhnya oleh negara anggota ICAO maupun airlines.
Dukungan ini terutama ditujukan pada negara yang masih melakukan tindakan diskrimatif terhadap kaum wanita, contohnya Arabi Saudi yang melarang kaum wanita mengendarai mobil. Perusahaan penerbangan Royal Brunei Airlines (RBA) melakukan penerbangan dari Brunei ke Arab Saudi dengan semua awak pesawat udara beserta penumpangnya adalah wanita. Ini untuk membuktikan bahwa wanita dapat berbuat seperti yang dikerjakan oleh pria. Sebelumnya, perusahaan penerbangan di Arab Saudi mempekerjakan wanita dari Filipina sebagai awak kabin. Setelah penerbangan RBA, Arab Saudi membuka kesempatan wanita sebagai penerbang. Salah satu siswa penerbang komerisal bernama Dalia Yashar, yang belajar di Akademi Penerbangan Oxford.
Di Uni Emirat Arab, banyak wanita menjadi penerbang. Pada 2016, Etihad Airways mengumumkan 50 persen karyawannya adalah wanita, lebih dari 50 penerbang komersial wanita, bahkan ada yang bertugas menyerang ISIS dengan menggunakan pesawat udara tempur F-16 buatan Amerika Serikat. Ethiopian Airlines (EA), yang pernah mengalami kecelakaan setelah kecelakaan Lion Air di Indonesia beberapa waktu lalu, mengikuti jejak RBA dalam unjuk kemampuan wanita dalam penerbangan. EA melakukan penerbangan dari Addis Ababa ke Bangkok, di mana seluruh awak penerbangan termasuk personel darat adalah wanita. EA mengetahui bahwa di Thailand wanita hanya terbatas menjadi awak kabin dengan gaji relatif cukup besar.
EA mengumumkan target wanita yang bekerja di bidang penerbangan adalah sepertiga dari seluruh karyawan yang dimiliki. Perusahaan penerbangan di Thailand yang menggunakan penerbang wanita adalah Bangkok Airways (BA) dan Thai Air-Asia (TAA). Adapun Thai International Airways (TIA) masih didominasi oleh kaum pria walaupun sudah berumur 51 tahun. Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan nasional juga memberi kesempatan luas kepada wanita untuk bekerja di bidang penerbangan atas dasar profesionalitas.
Hal ini dibuktikan dengan pelantikan Capt Ida Feqriah sebagai penerbang wanita pertama Garuda Indonesia setelah mengantongi 10.585 jam terbang menggunakan pesawat udara tipe Boeing 737 dan Airbus A330-200/300 (wide body aircraft). Dalam kiprahnya melayani masyarakat serta mendukung program penyetaraan gender oleh UNESCO dan ICAO, Garuda Indonesia juga melakukan penerbangan khusus yang melibatkan perempuan. Pada penerbangan spesial dalam rangka Hari Kartini dari Jakarta ke Yogyakarta, semua awak pesawat udara, personel darat maupun operasional dan manajemen terdiri dari wanita.
Penerbangan ini disertai pula oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembinse bersama dengan para pejabat Garuda Indonesia pada waktu itu. Sekarang ini, pantas dicatat ada sebuah Boarding School Dwiwarna di kawasan Bogor, Jawa Barat, yang telah berhasil meluluskan dua calon penerbang wanita, yakni Restina Zakinah dan Yustisia Nurul Afia. Restina Zakinah adalah putri pasangan keluarga Anita Ema Bwefar dan Lukmnan La Ali dari Kaimana, Papua Barat. Ini membuktikan bahwa tidak ada pesan diskriminasi dalam NKRI ini.
Adapun Yustisia Nurul Afia adalah putri keluarga pengusaha kerang di Cirebon, pasangan Siti Nurhandiah dan Jaima Taguba yang keturunan Filipina. Ini menandakan Indonesia tidak mengenal diskriminasi atas dasar keturunan. Semua adalah warga negara Indonesia tanpa aroma rasialis. Setelah mengikuti pendidikan penerbangan di salah satu sekolah penerbangan di Indonesia, Yustisia menjadi wanita Indonesia yang bekerja sebagai penerbang Air Asia yang berkantor di Kuala Lumpur. Dari catatan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan pria dan wanita dalam industri penerbangan pada tataran global, regional, maupun nasional telah meningkat untuk mendukung program yang diputuskan sidang umum ICAO.
Dampak secara langsung setelah unjuk kemampuan wanita yang dilakukan oleh Royal Brunei Airlines (RBA), Ethiopian Airlines (EA), dan Garuda Indoneia adalah Arab Saudi membuka kesempatan kepada wanita sebagai penerbang, yang semula awak kabin dilakukan oleh wanita dari Filipina. Target separuh wanita bekerja di sektor penerbangan didukung sepenuhnya oleh organisasi internasional di lingkungan PBB, seperti UNESCO, UDHR, ICAO, IATA, dan Inter-Agency Network on Women and Gender Equality (IANWGE) sesuai dengan perkembangan Science, Technology, Engineering and Mathematic (STEM) yang menjadi acuan ICAO.