Di era media sosial yang terus berkembang, menjadi seorang influencer di Instagram seringkali dipandang sebagai sebuah impian yang menggiurkan. Gaya hidup mewah, kesuksesan, dan popularitas tampak begitu dekat di genggaman dalam dunia maya. Namun, terungkaplah sisi gelap dari perjalanan untuk menjadi seorang influencer, yang dialami oleh seorang wanita bernama Sarah Bartlett.
Ia menemukan bahwa di balik postingan-postingan indah di Instagram, terdapat kisah yang jauh dari kesempurnaan. Sarah Bartlett, seorang wanita berusia 37 tahun asal Bristol, Inggris, memiliki impian menjadi seorang influencer. Namun, ambisinya membawanya ke dalam perangkap yang tak terduga, yaitu hutang yang menumpuk hingga ratusan juta rupiah.
Dalam era media sosial yang kian berkembang, banyak dari kita seringkali terpesona oleh gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh para influencer. Namun, cerita Sarah Bartlett, seorang wanita berusia 37 tahun dari Bristol, Inggris, menunjukkan bahwa di balik tampilan sempurna di Instagram, terkadang tersembunyi kisah kehidupan yang jauh dari kesempurnaan.
Ia menjadi bukti hidup bahwa obsesi akan gaya hidup mewah dalam upaya mendapatkan foto-foto Instagram yang sempurna dapat mengantarkan seseorang pada masalah finansial serius. Sarah mengaku telah terjerumus dalam kecanduan belanja yang mendorongnya untuk menggunakan delapan kartu kredit berbeda dalam waktu enam tahun.
Akibatnya, utangnya meroket hingga mencapai $14.540 (Rp231 Juta). Ia mendedikasikan dirinya untuk mengikuti tren media sosial yang memaksanya untuk selalu memamerkan kehidupan mewah yang membuatnya terlilit dalam masalah finansial yang rumit.
Ketika Kecanduan Belanja Mengancam Keuangan dan Kesejahteraan
Sarah, yang sebelumnya memiliki pendapatan tahunan sekitar $33.924 (Rp 540 Juta) sebagai seorang profesional di bidang sumber daya manusia, akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah serius untuk mengatasi masalah finansialnya. Ia merasa kecanduan belanja dan terjebak dalam siklus utang yang terus berputar.
Baginya, belanja menjadi cara untuk mendapatkan dorongan dopamin yang menyenangkan, bahkan jika hal itu merugikan keuangan pribadinya. Sarah menceritakan bahwa ia mampu membayar jumlah minimum pada kartu kreditnya setiap bulan, tapi ia sering kali membiarkan dirinya tergoda untuk membeli sesuatu yang tidak sesuai dengan anggarannya.
Dia merasa yakin bahwa gaji bulanannya akan dapat menutupi pengeluaran berlebihannya. Namun, ia tidak pernah benar-benar melacak berapa banyak yang ia belanjakan, dan itulah awal dari permasalahannya.
Perubahan dalam hidup Sarah Bartlett terjadi ketika ia pindah ke rumah baru pada tahun 2021 dan menghadapi kenyataan bahwa hipoteknya telah meningkat dua kali lipat. Keuangan yang semakin sulit mengunggahnya untuk mencari bantuan konseling dan memahami akar dari perilaku pengeluarannya yang tidak terkendali. Dengan dukungan tersebut, ia mulai mengubah kebiasaan belanja dan mengelola anggarannya dengan lebih bijak.
Dalam perjalanan menuju kemandirian finansialnya, Sarah menerapkan beberapa strategi penting. Ia mengakui bahwa ia memiliki masalah, membuat anggaran yang ketat, bahkan mencari pekerjaan sampingan, mendirikan bisnis Etsy, dan belajar untuk lebih bijak dalam mengelola uang tunai. Transformasi ini membawanya kembali ke jalur yang benar dan memungkinkannya untuk memulihkan keuangan pribadinya.
Kini, Sarah ingin berbagi pengalamannya untuk memberikan kesadaran kepada orang lain tentang pentingnya mengelola utang dan anggaran secara bijak sejak dini, terutama di era yang dipengaruhi oleh media sosial.
Kisah Sarah Bartlett adalah peringatan bagi kita semua tentang bahaya mengikuti tren media sosial yang mendorong kehidupan mewah, tanpa mempertimbangkan dampak finansial yang mungkin timbul. Kesadaran dan pengelolaan keuangan yang bijak adalah kunci untuk menjaga kesejahteraan finansial kita.
Sumber : Liputan6