Nationalgeographic.co.id—Buku karya Ranggawarsita tentang pelajaran adat wanita keraton Jawa menjadi objek pembahasan dalam Kuliah Umun dari Profesor Filologi Indonesia University of Cologne, Jerman, Edwin P. Wieringa, akhir bulan lalu.
Kegiatan itu digelar oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam rangka menyambut Hari Kartini pada 21 April.
Dalam paparannya, Edwin mengupas isi dari karya sastra yang berjudul Serat Candrarini. Karya ini ditulis pada tahun 1860 M oleh R.Ng Ranggawarsita III, pujangga kenamaan dari Keraton Kasunanan Surakarta Adiningrat.
Edwin menuturkan, Ranggawarsita “didhawuhi” (disuruh) oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IX agar menulis serat tersebut. Tujuannya untuk memberikan “piwulang” (pelajaran) budi pekerti bagi putri-putri sang susuhunan khususnya dan juga para wanita pada umumnya.
Lebih lanjut, Edwin menjelaskan, sesuai namanya, Serat Candrarini menceritakan karakter wanita yang disimbolkan oleh para istri Raden Arjuna. ”Mereka adalah Wara Sumbadra, Wara Srikandi, Dewi Manuhara, Dewi Larasati dan Dewi Gandawati. Mereka adalah para wanita ideal (idaman) suami bahkan figur istri terbaik,” terangnya.
Edwin memaparkan bahwa Sastra Candrarini termasuk jenis karya sastra etik didaktik yang mengambil tokoh-tokoh wanita dalam pewayangan. Tokoh-tokoh wanita tersebut adalah lima istri Raden Arjuna, yang dianggap sebagai putri teladan.
Sebagai karya sastra tradisional, Sastra Candrarini hanya dapat dipahami dengan pengetahuan tentang kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra Jawa. Di samping itu, penilaiannya juga tidak dapat lepas dari keadaan masyarakat yang melahirkannya.
“Sastra Candrarini ditulis dalam bentuk tembang macapat, yang masing-masing jenisnya memiliki struktur khusus, yakni setiap bait terdiri dari sekian larik, setiap larik terdiri dari sekian suku kata (guru wilangan) dengan vokal akhir (guru lagu) tertentu,” jelasnya.
Menurut Edwin, konsep istri ideal menurut Sastra Candrarini meliputi dua hal. Pertama, konsep yang bersifat spiritual seperti sabar, rendah hati, simpati, berbakti kepada kedua orang tua (termasuk kepada mertua), saling menasehati, setia dan pemaaf.
Kedua, konsep yang bersifat fisik, seperti merias diri dan merawat diri. Kedua konsep tersebut masih diterapkan oleh wanita pada dewasa ini.
Adapun perceraian merupakan hal yang tercela bagi wanita Jawa. Oleh karena itu, perkawinan harus dipertahankan, dengan berperilaku seperti kelima istri Raden Arjuna.
Sebagai karya sastra, kitab Sastra Candrarini lahir dalam konteks atau tata perkawinan poligini. Artinya, wanita harus setia dan bakti pada suami dan mertua.
“Memang ada perbedaan pandangan seperti contoh dari perspektif feminisme kontemporer,” kata Edwin memberi pandangan.
Konsep poligini tentu saja tidak relevan karena dipandang melukai hak-hak fundamental perempuan serta adanya kecenderungan merugikan dan melecehkan mereka. Selain itu, kelompok feminis berpendapat, ketidaksetaraan gender dalam poligini juga menimbulkan penderitaan. Sebagai contoh, para wanita yang menjadi selir harus mengabdi pada istri utama yang disebut permaisuri.
Mengakhiri kuliah umumnya, Edwin menekankan bahwa perlu adanya pendekatan historis dalam menganalisis karya sastra tradisional seperti Sastra Candrarini ini. Antara lain mengenai interpretasi bahasa, karena dalam menginterpretasikannya harus secara komprehensif dengan melihat dan memahami situasi kondisi dan budaya di masa itu.
Sementara itu, Kepala PR MLTL, Sastri Sunarti, dalam kata penutup mengucapkan terima kasih kepada Profesor Edwin yang telah memberikan pengetahuannya mengenai manuskrip, dan literatur yang ditelitinya, kepada para peneliti BRIN maupun masyarakat umum yang tertarik terhadap sastra tradisional Indonesia di masa lalu.
Sastri berharap banyak orang bisa mendapatkan manfaat dan menambah pengetahuan mengenai manuskrip, literatur, maupun tradisi lisan yang ada di Indonesia.
Sumber: NatGeo Indonesia