“Prinsip seni sejati bukanlah untuk menggambarkan, tetapi untuk membangkitkan”. Kutipan novelis Amerika Serikat, Jerzy Kosinski tersebut tampaknya cukup mewakili persepsi seni perempuan bernama Tita Djumaryo.
Ia adalah Founder dan CEO Ganara Art, sebuah lembaga pendidikan seni budaya yang ingin merangkul semua orang untuk merasakan seni. Tita sudah satu dekade mengembangkan Ganara yang telah diwarnai dengan peluh, perjuangan, kebangkitan, dan kebanggaan.
Dedikasi Tita terhadap dunia seni dan edukasi datang dari rasa cinta yang tulus. Orang yang berjasa menularkan semangat itu tak lain adalah sosok yang menyayanginya sejak kecil, yakni sang Bapak. Beliau yang menanamkan ikatan emosional Tita dengan seni.
“Kebetulan almarhum bapak saya adalah fotografer wartawan seni yang memang dulu membuat majalah interior desain pertama di Indonesia. Dari kecil sudah diajarkan tentang seni dan bagaimana seni itu sebetulnya sebuah profesi. Jadi dari umur 4 tahun enggak mau jadi apa-apa lagi kecuali seniman,” terang Tita Djumaryo dalam sesi wawancara khusus dengan FIMELA belum lama ini.
Kecintaan itu kembali diturunkan Tita kepada anak-anaknya. Ganara Art yang kini menyediakan berbagai fasilitas seperti Art Space, Art Studio, Pottery, Printmaking, Art Playground dan Art Galley, ternyata bermula dari keinginannya memberi ruang seni untuk ketiga buah hati.
“Sebetulnya Ganara Art terdiri dari nama tiga putra saya, Gadra, Nalagra dan Ralanggana. Jadi sebetulnya mimpi besar Ganara itu ya untuk anak-anak. Jadi kita memenuhi kebutuhan anak-anak kita untuk berkreasi dan kebetulan anak saya yang nomor dua mengalami speak delay. Jadi pada saat kita membuat Ganara, ketika umur dia 3,5 tahun tuh dia belum lancar bicara, akhirnya kita menciptakan satu kelas namanya Early Art Sensory yang memang ditujukan untuk membantu dia bersosialisasi dan berkreasi lewat seni dan juga belajar bicara dengan lewat storytelling dan art and craft. Memang tujuannya untuk anak-anak, tapi akhirnya berkembang dan harapan kami sih untuk seluruh anak Indonesia,” paparnya.
Dalam satu dekade perjalanannya, Ganara Art terus berupaya membawa seni ke ranah yang lebih luas. Yang terbaru, Ganara bekerja sama dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) membangun Desa Seni Ganara dalam rangka perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78. Berbagai kelas seni juga bisa diikuti di bulan September di area yang luas dan cocok untuk keluarga.
Berbagai kisah menarik diungkap Tita Djumaryo selama perjalanannya berinteraksi dengan seni. Ada keresahan yang ia rasakan tentang seni dan perempuan, ada pula harapan dan mimpi yang ingin ia wujudkan sebagai seorang perempuan yang mencintai seni. Simak kutipan wawancara FIMELA dengan sang Founder dan CEO Ganara Art selengkapnya berikut ini.
Ganara Terinspirasi dari dan untuk Keluarga
Tita Djumaryo membentuk jiwa seninya dengan berbagai media. Salah satu pengalaman yang signifikan adalah keputusannya kuliah jurusan seni di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari situ ia memperluas pandangannya tentang seni semakin jauh.
Kuliah jurusan seni di ITB dan fokus di bidang seni hingga sekarang. Sebenarnya sejak kapan Anda mencintai dunia seni?
Jadi saya sebetulnya terlahir di keluarga seniman. Kebetulan almarhum bapak saya adalah fotografer wartawan seni yang memang dulu membuat majalah interior desain pertama di Indonesia dan memang dari kecil sudah diajarkan tentang seni dan bagaimana seni itu sebetulnya sebuah profesi. Saya ingat banget waktu umur 4 tahun, saya suka banget gambar, objek pertama yang saya suka gambar itu perempuan. Jadi saya menggambar perempuan di tembok rumah, di mana-mana kalau misalkan orang tua lain kan biasanya akan marah dengan gambar-gambar di tembok. Kebetulan bapak malah ngelihat gambar saya satu-satu, diperhatiin, terus dikomentarin, yang ini detail banget. Saya ingat beliau bilang ‘Kamu gambarnya bagus banget, kalau sudah besar harus jadi seniman’.
Dari umur 4 tahun enggak mau jadi apa-apa lagi kecuali seniman. Kemudian aku juga didukung dengan edukasi, dari umur 5 tahun saya ikut kursus gambar. Mungkin kalau anak lain ikutnya balet. Bahkan sampai SMA juga mendapatkan mentor seniman yang memang membantu saya mengasah skill. Kemudian saya keterima di ITB seni rupa. Jurusan dan kampus itu memang pilihan bersama antara saya dan almarhum bapak karena memang untuk menjadi pelukis, saya pokoknya masuk ke situ jurusannya seni murni nanti saya akan mengambil studio lukis, jadi kayak jalur hidupnya tuh udah jelas. Tapi memang pada saat saya baru diterima 2 minggu di ITB, bapak saya meninggal karena stroke tapi akhirnya jadi mimpi bersama ini jadinya saya yang membawa terus, yang menjadi mungkin cerminan yang didukung oleh Bapak dan juga mama saya adalah pada saat mimpi kita sendiri untuk didukung sejak usia dini. Nah ini yang terus saya bawa hingga sampai sekarang saya mau buat Ganara.
Terpikir menjalani profesi selain menjadi seniman?
Nggak. Jadi waktu SMP saya inget banget saya sering dibawa oleh Bapak untuk wawancara seniman-seniman. Jadi pada saat saya mewawancara itu, saya melihat banyak kesempatan untuk bisa ‘Oh seperti ini nih kalau mau bikin pameran’. Jadi Bapak selalu bilang kamu bikin portofolio dulu nanti kalau mau buat pameran. Jangan lupa undang wartawan, jadi udah ada step by step-nya. Jadi saya enggak membayangkan profesi lain dan sebetulnya pada saat saya masuk ITB seni rupa itu pun di tahun kedua saya udah mulai pameran karena memang saya merasa jalurnya emang harus seperti itu. Sampai akhirnya saya pameran tunggal sebelum lulus, sesudah itu saya sempat pameran tunggal di luar negeri dan lain sebagainya itu sebagai anak tangga yang memang saya bangun.
Saat kuliah sampai lulus, apa yang membuat Anda yakin untuk menjadi seniman?
Sebetulnya lebih ke saya melihat teladan bapak. Bapak kan berkecimpung di bidang seni, bertemu dengan seniman yang memang menjadikan itu profesi. Dari situ saya ingin mengenalkan seni lebih luas lagi kepada masyarakat yang lebih banyak. Tapi selain itu juga, saya yakin Indonesia tuh sebetulnya tatanan masyarakat itu belum memahami seni seperti seharusnya. Hal itu terlihat dari pendidikan kita, maksudnya pendidikan kita sempat beberapa saat yang lalu dengan kurikulum yang sebelumnya kan tidak mementingkan seni budaya. Jadi saya rasa ini kesempatan untuk bisa menjadikan seni di depan gitu dan Ganara ini sebetulnya salah satu caranya.
Apa yang menjadi motivasi Anda mendirikan Ganara Art?
Jadi sebetulnya Ganara Art terdiri dari nama tiga putra saya, Gadra, Nalagra dan Ralanggana. Nama itu adalah nama sanksekerta dan baru tahu nih setelah setahun berjalan bahwa Ganara adalah bahasa Spanyol artinya I will win, saya pasti menang jadi artinya bagus. Tapi memang awalnya, Ganara itu didirikan untuk anak-anak saya, jadi kami berdua saya dan suami dalam membuat Ganara pada tahun 2013 menemukan bahwa sebetulnya wadah untuk berkreasi anak itu hanya sebatas sanggar. Jadi kalau sukanya gambar, ikutnya sanggar, kalau sukanya cooking ikutnya kelas masak, tapi enggak ada satu wadah yang menggabungkan semua dan yang ada banyak menjamur pada saat itu tuh indoor playground, yang memang sebetulnya itu mengasah motorik kasar bukan mengasah motorik halus. Jadi sebetulnya mimpi besar Ganara itu ya untuk anak-anak. Jadi kita memenuhi kebutuhan anak-anak kita untuk berkreasi dan kebetulan anak saya yang nomor dua mengalami speak delay. Jadi pada saat kita membuat Ganara, ketika umur dia 3,5 tahun tuh dia belum lancar bicara, akhirnya kita menciptakan satu kelas namanya Early Art Sensory yang memang ditujukan untuk membantu dia bersosialisasi dan berkreasi lewat seni dan juga belajar bicara dengan lewat story telling dan art and craft. Memang tujuannya untuk anak-anak, tapi akhirnya berkembang dan harapan kami untuk seluruh anak Indonesia.
Selain suami, siapa lagi yang mendukung Anda membangun Ganara?
Keluarga keluarga dekat, mama, kakak dan adik saya. Tapi memang saya merasa sebetulnya lingkungan saya dari dari saya kecil, keluarga besar, rekan-rekan itu juga melihat oh ini potensi. Saya sangat bersyukur tidak pernah mengalami penolakan dalam saya mengejar karier saya di sini, baik pada saat yang menjadi seniman waktu saya sempat jadi guru dan akhirnya membuat Ganara. Mungkin ada keraguan, tapi keraguan itu mungkin lebih di dalam, kalau di luar tuh semuanya mendukung.
Anak remaja mulai ikutan kelas. Apa yang dipikirkan di awal sampai akhirnya menarik mereka menjadi market Ganara?
Nah jadi kita sebetulnya waktu pertama kali mulai bikin Ganara 2013 itu tadinya kita untuk kids. Tapi ternyata baru mulai sekitar seminggu, 2 minggu kita bikin program, ternyata ada ada orang tua yang mengantar anaknya terus menanyakan ‘Kalau saya sendiri bisa nggak ya les lukis?’ Dan karena saya memang skill-nya dilukis jadi guru yang lain memegang anak-anaknya, saya mengajari ibu-ibunya. Jadi dari awal memang sudah terbuka untuk dewasa tapi akhirnya waktu 2015 kita pertama kali mau membuka Ganara Art Space, ini didedikasi untuk yang lain, jadi di situ ada portfolio class, ada kelas-kelas yang kita kerja sama dengan seniman dan memang akhirnya ini banyak diminati oleh anak-anak remaja dan dewasa. Kalau sekarang sih sebetulnya 70% dari market kita, usia gen Z dari 20 sampai 30 tahun.
Menurut Anda, di usia berapa anak seharusnya diperkenalkan dengan seni?
Kalau pengalaman saya pribadi sebenarnya dari umur 1 tahun. Kebetulan anak pertama saya itu dari umur 1 tahun sudah kita kenalkan dengan cat yang memang aman untuk bayi. Dengan dia mencampur cat dengan tangannya dengan kuas pada saat umur satu setengah tahun dia sudah bisa menyebutkan warna primer seperti merah, kuning, biru, putih, hitam. Waktu dia umur 1 tahun 8 bulan dia sudah bisa membuat warna sekunder, jadi dia bisa campur kuning sama biru terus dia bilang ini jadi hijau. Waktu dia berumur 1 tahun 10 bulan, dia sudah bisa bikin warna-warna seperti salmon, terkuas maksudnya warna-warna komplek gitu ya dan bisa menyebutkan berbagai macam warna. Itu kan sebetulnya matematika dasar, nah jadi saya merasa sih sebetulnya sedini mungkin, karena pada saat anak-anak dikenalkan dengan art apalagi kalau misalnya art-nya hands on, dengan pottery, tanah liat, cat yang basah, dia melatih sensori dan juga melatih kemampuan dia berpikir secara sistematis.
Apa project terkini Ganara yang sedang berlangsung?
Dari Ganara, rencana paling dekatnya kita akan membuka space kita yang terbesar. Kalau sekarang terbesar adalah Plaza Indonesia 1200 meter persegi, tapi nextnya kita akan membuka satu lahan yang besar sekali 10.000 m², 1 hektar di Taman Mini Indonesia Indah. Jadi ini namanya Desa Seni Ganara. Desa seni ini harapannya menjadi percontohan bagaimana rasanya kalau masyarakat datang ke sebuah kehidupan yang penuh dengan kesenian. Jadi mereka ada journal, ada beberapa spot di sana. Maksudnya ke beberapa tempat di situ bisa mengalami dan juga bisa berkegiatan sendiri.
Ganara sudah satu dekade. Apa saja yang sudah dan belum terwujud?
Misi kita yang sudah terwujud sekarang, yang sudah mulai terlihat hasilnya adalah art for everyone, jadi kita perhatikan sekarang hampir semua orang ingin mencoba senu yang tadinya mungkin masih terbatas. Kayak ‘Oh kalau mau ikut seni itu kursus’ kalau sekarang kita mempunyai wadah di mana memang orang-orang bisa datang beraktivitas any time of the day dan memang coba-coba aja. Nah itu tuh kan sebetulnya memberikan koridor. Kalau yang kita merasa belum tercapai ya memang ingin menjangkau ke seluruh Indonesia, kalau sekarang Ganara masih baru ada di Jakarta dan Makassar. Kita memang ingin melebarkan sayap sampai ke kota-kota yang lain, pulau-pulau yang lain juga gitu karena kita melihat sebenarnya dengan Ganara sendiri kan punya gerakan sosial mari berbagi seni ini. Ini yang sudah jalan ke berbagai kota di Indonesia, totalnya 25 kota. Tapi kan ini hanya ada event aja. Tapi setiap event, kita melihat sebetulnya banyak sekali yang tertarik melakukan kegiatan seni dan memang sangat berbakat. Jadi kita melihat ini sebenarnya potensinya sangat besar. Mimpinya sih sebetulnya seni untuk Indonesia. Kalau sekarang kan seni hanya dilihat sebagai pemanis, misalnya lagi ada acara pemerintahan terus ada tari-tariannya cuman untuk pembukaan aja. Padahal sebetulnya misalkan acara pemerintahan ini bicara tentang strategi kebudayaan, strategi bagaimana memajukan satu daerah, sebetulnya tuh lewat sini. Jadi mimpi besarnya adalah memang seni untuk Indonesia dan seni untuk kehidupan menjadi salah satu yang memang didorong ke depannya. Maksudnya ini bukan hanya saya sebagai perwakilan swasta, saya berharapnya sih dari pemerintah juga bisa melihat hal yang sama.
Tentang Dunia Seni dan Peranan Perempuan
Bagaimana tanggapan Anda tentang pekerja seni yang terkadang dipandang sebelah mata?
Sebetulnya karena memang pola pikirnya terkotak-kotak. Jadi kalau profesi atau pekerjaan itu berarti masuk jam 09.00 pulang jam 05.00. Saya juga sempat diwawancara, katanya saya berubah dari seniman berunah menjadi entrepreneur. Lalu saya mengoreksi, bahwa menurut saya seniman itulah adalah entrepreneur. Karena dari awal seniman sebenarnya ada disiplin kan. Bagaimana caranya membuat karya membuat belasan sampai adanya pameran, bertemu galeri dll. Itu kan entrepreneurship secara mandiri membangun bisnisnya. Banyak di luar sana berpikiran bahwa seniman hanya melukis. Padahal berkarya itu adalah proses kerja. Dan ini juga jadi mimpi besarku ya, meluruskan persepsi ini. Saya pernah webinar, ada anak mahasiswa jurusan teknik yang bertanya, hubungan art dengan mind apa ya. Menurut dia, ketika berkarya itu tidak dipikirkan. Jadi pengertian karya seni dari situ saja seakan mengatakan seniman bukan seperti pekerjaan. Harapan saya juga bisa meluruskan persepsi inibdan mengenalkan seni dari usia dini. Yang dikenalkan bukan hanya anak murid saja, tapi mengenalkan ke orang tuanya bahwa seni penting dan bisa dibawa oleh sang anak sampai dia dewasa.
Sejauh mana seni memengaruhi dan mengubah hidup Anda?
Seni memang mempengaruhi saya dari kecil, tapi mengubah hidup saya adalah sebetulnya saya profesinya tuh berubah-berubah. Jadi setelah saya menjadi seniman full,bsaya beberapa tahun sempat pameran tunggal, pameran tunggal di luar negeri, pameran group dan lain sebagainya lalu saya menikah dan punya anak. Kebetulan memang saya komit untuk mengurus full anak saya sendiri, jadi memang enggak menambah bantuan lagi. Dan ternyata menjadi seniman dan menjadi ibu itu sulit sekali. Jadi saya bisa melukis semalaman saat anak tidur. Saya ketiduran, bangun bangun lukisan saya sudah ada cap tangan anak-anak. Akhirnya saya lebih fokus untuk membesarkan anak saya, nah pada saat dia umur satu setengah tahun, saya mendaftarkan dia ke Pre School, kebetulan internasional school ini sedang mencari guru lukis untuk ekskul jadi menawarkan. Karena di KTP saya tulisannya seniman jadi mereka memperkerjakan saya. Jadi sejalan, saya nganterin anak saya sekolah terus saya ngajar, tapi setelah berjalan beberapa bulan saya menyadari, menemukan kecintaan saya yang lain yaitu mengajar. Jadi match banget ya, ilmu saya yang saya pelajari di kampus akhirnya bisa saya aplikasikan untuk membuat kurikulum dan saya melihat sebetulnya perkembangan ini sangat signifikan kalau misalnya diajarkan dari usia umur 2 tahun. Jadi anak-anak kecil ini kan mereka masih sangat menyerap. Akhirnya 2013 kami memutuskan untuk membuat wadah yang memang khusus untuk pendidikan seni rupa yaitu Ganara. Perubahan seni itu merubah hidup saya adalah ketika saya mulai betul-betul fokus membesarkan Ganara, saya bercandanya sama suami saya itu Ganara adalah anak kita yang keempat, paling rewel banget. Tapi saya melihat banyak sekali perubahan yang terjadi lebih banyak kehidupan orang-orang karena seni.
Siapa yang menginspirasi Anda selain bapak? Adakah seniman yang berkesan bagi Anda?
Salah satu panutan seni saya adalah seniman Amerika yang memang dia sempat tinggal di Indonesia Namanya Arnold Sober. Bapak saya waktu itu mewawancara beliau, pada saat dia pameran lalu melihat skillnya ini bisa dipakai nih untuk saya persiapan masuk ITB. Lalu saya disuruh buat portofolio dan kita menghadap Arnold ini terus request boleh nggak untuk mentoring saya dan akhirnya sih seniman ini yang mengajarkan saya bagaimana cara mengajar sebetulnya. Dan salah satu karya yang selalu diangkat oleh Arnold Sobers adalah satu seniman Amerika namanya Georgia O’Keeffe, jadi dia itu seniman perempuan yang memang dia sering banget menggambarkan arti perempuan tapi dengan lukisan-lukisan yang memang sangat meaningful. Jadi saya melihat sebetulnya itu adalah cara untuk kita mengekspresikan diri sebagai perempuan. Kadang-kadang kan memang kita melihat profesi itu sebagai profesi aja. Tapi kan sebetulnya struggle kita sebagai perempuan di dunia seni dan perempuan di dunia yang mana aja ya itu kan beda, nah jadi saya merasa karya dia itu memang representasikan itu.
Seperti apa prosentase pengunjung Ganara secara gender? Adakah temuan menarik?
70-80% pengunjung perempuan. Jadi kadang-kadang kita juga suka melihat ada si laki-laki yang datang tapi nemenin pacarnya. Jadi kalau lagi kayak kita waktu valentine kita sempat bikin promo art date, litu sih semuanya dengan pasangan. Jadi itu jumlah cowoknya agak banyak karena diminta ikut sama pasangannya. Kalau sekarang sih kita masih di 70% perempuan tapi mulai beberapa minggu belakangan mulai banyak grup laki-laki kayak bersepuluh, berlima datang malam mingguan di sini. Kita sampai kaget, mau lihatin cewe atau seperti apa. Karena kalau yang cewek datang ke sini OOTD banget.
Apakah dunia seni ramah untuk kaum perempuan di Indonesia?
Menurut saya ini belum. Nggak cuma di seni, tapi di berbagai macam profesi. Kita kan ada yang disebut relasi kuasa. Jadi ada banyak senior-senior gitu yang maksudnya gendernya bukan perempuan, tapi laki-laki yang mungkin udah lama atau Master di bidangnya ya yang memang menciptakan suasana kerja yang mungkin kurang kondusif untuk perempuan. Karena di beberapa pekerjaan, sangat tidak nyaman pulang malam atau sampai pagi. Itu tidak dialami oleh laki-laki. Laki-laki pulang jam berapa saja, sama saja, beda dengan perempuan. Ganara juga pernah baru-baru ini ada Premiere film dari luar yang gede-gedean dan ini sampai pagi. Di Ganara kita ciptakan ruang kerja yang aman. Jadi semua staff kita harus menandatangani kode etik di mana memang harus menghormati seluruh karyawan, rekan kerja supervisor dan bawahan dan tidak membeda-bedakan gender dan memang pelanggaran seperti melakukan pelatihan atau kekerasan seksual baik verbal maupun fisik itu hukumannya berat sekali, langsung terminasi, ini semua langsung ditandatangani oleh seluruh karyawan. Kenapa? Karena saya merasa belum ruang aman di seni ntuk perempuan itu belum besar, tapi setidaknya Ganara bisa memulai dengan melakukan memberlakukan peraturan-peraturan.
Memiliki jumlah karyawan perempuan yang dominan, apakah memang disengaja?
Sebetulnya memang kebetulan mayoritas staff kita adalah perempuan 80% tapi memang kita ada ada juga staff pendukung ya misalkan kayak office boy, atau kan kita punya produksi sendiri jadi misalkan teman-teman lihat kayak ada yang bawa tas ada yang bawa topi, itu semua kita produksi sendiri. Nah semua tukang kita kan memang laki-laki kalau di yang divisi itu. Sebetulnya bukan kita sengaja tapi memang akhirnya yang mungkin tertarik untuk ngelamar ke Ganara lebih banyak perempuan. Kita melihatnya di situ sih kita sangat sangat terbuka, tapi memang akhirnya banyak yang perempuan hampir semua manager kita perempuan.
Sejauh mana dukungan suami dari sisi kreatif?
Jadi suami saya, Indra itu kita ketemunya di kampus seangkatan, tapi dia mengambil jurusan create tekstil, itu bagian dari desain. Tapi setelah dia lulus dia langsung mengambil magister management, S2 bisnis di ITB, dia lulusnya cuma 1 tahun 3 bulan, dia mau pinter banget. Kalau mau masuk S2 harus punya contoh kasus yang dipresentasikan baru dia dipilih nih. Nah yang dipresentasikan dia adalah sekolah seni. Jadi sudah diimajinasikan dia itu sudah sejak saat itu. Dan kita ketemu di situ, kita punya mimpi yang sama. Kita saling mendukung jadinya. Ganara bisa besar ini ya karena balance. Kalau kalian lihat, desain dll arahannya dari suami. Kalau saya lebih mengkomunikasikan kurikulum. Untuk relasi-relasi seperti kayak ini kan kita ada kolaborasi sama Plaza Indonesia, Taman Mini dan sebagainya itu memang lebih di saya. Tapi semua produksi dan operasional memang lebih ke suami. Jadi kita simbiosis mutualisme dan memang kayaknya jadi mimpi bersama gitu ya, akhirnya kita coba wujudkan bareng-bareng.
Nilai penting yang ditanamkan anak pada seni?
Nilai penting yang pertama adalah bahwa seni itu bisa membantu kita untuk mengekspresikan diri, jadi terbukti dengan anak kita yang nomor dua pada saat dia belum bisa bicara, pada saat dia bisa berkarya, dia mulai tumbuh rasa percaya diri. Jadi misalkan mereka lagi merasa nggak bisa cerita sama kita, biasanya kita bilang gambar aja. Kalaupun dia tidak menggambarkan apa yang dia pikirkan, tapi pada saat dia menggoreskan pensil itu kan menenangkan. Yang kedua bahwa sebetulnya kita harus menghargai semua orang. Esensi menghargai karya seni itu adalah menghargai sesuatu yang bukan fisik. Misalnya saya bikin lukisan terus orang lain menyukai lukisan. Nah orang lain tidak menilai fisik saya. Jadi saya mencoba mengajarkan itu gitu bahwa sebenarnya buah tangan atau hasil karya atau hasil pemikiran orang gitu tuh sebetulnya penting sekali. Jadi kita tidak bisa menilai orang hanya dari penampilannya aja. Ketiga memang tanpa seni ya dunia tuh akan sangat flat, maksudnya yang istilah ini klise banget. Pada saat pandemi kita cuman di rumah, cuman sekeluarga, kalau nggak ada musik, nggak ada film, nggak ada gambar-gambar, nggak ada art, kita nggak bisa ngapa-ngapain gitu.
Pesan untuk para perempuan yang ingin belajar seni?
Saya sih sebetulnya memberanikan diri mencoba, jadi kadang-kadang ada satu stigma gitu ya misalkan waktu di SMP ini Dibilang gambarnya jelek padahal hasilnya bagus. Ini sering banget terjadi pada murid-murid Ganara yang sudah dewasa. Kreasi itu sering dinilai pakai angka, padahal tidak seperti matematika. Jadi sistem pendidikan diubah. Sebelum diubah, harus memberanikan diri mencoba. Karena apapun yang dihasilkan dari hati, meski belum selesai, masih berantakan harus berani mencoba.
Sumber: Fimela