12 foto ikonik yang menggambarkan aksi protes perempuan, dari perempuan yang melayangkan tasnya ke kepala seorang neo-Nazi sampai para demonstran yang memicu Revolusi Rusia.
1. Danuta Danielsson, Swedia, 1985
Fotografer Swedia, Hans Runesson, mengabadikan momen ini pada 13 April 1985.
Foto tersebut terpilih sebagai ‘Foto Abad Ini’ dan muncul kembali di media sosial pada 2016 dengan seruan:
“Jadilah wanita yang memukul seorang neo-Nazi dengan tas jinjing, sebagaimana yang ingin Anda saksikan di dunia”.
Diambil di Växjö, Swedia, saat demonstrasi Partai Reich Nordik berhaluan neo-Nazi, foto tersebut memperlihatkan Danuta Danielsson, 38 tahun, sedang melayangkan tasnya ke salah satu peserta pawai.
Perempuan berdarah Polandia-Swedia itu – yang anggota keluarganya dikirim ke kamp konsentrasi Nazi pada Perang Dunia II – meluapkan kemarahan “secara impulsif”, menurut Runesson kepada BBC Culture.
Kata juru jepret ini, pria yang kena pukul tas jinjing itu tidak melakukan apa pun – dia malah berjalan menjauhi Danuta.
Meskipun kejadian tersebut terjadi dalam sekejap, foto tersebut terus bergema bagi banyak orang sebagai seruan yang membahana.
2. Tess Asplund, Swedia, 2016
Foto ini memiliki konteks serupa dengan foto pertama.
Foto ini diabadikan pada 2016, saat aktivis sosial Tess Asplund menempatkan dirinya di tengah-tengah para pengunjuk rasa dari Gerakan Perlawanan Nordik di Swedia.
David Lagerlöf mengambil gambar saat aktivis sosial ini berhadapan dengan pawai May Day yang diikuti oleh 300 orang nasionalis berseragam di Borlänge, Swedia, dengan tinju ke langit.
Sikapnya yang tanpa ekspresi, menyampaikan pesan tentang kasus kekerasan yang tak terhitung jumlahnya.
3. Ieshia Evans, AS, 2016
Ieshia Evans berdiri anggun dengan gaunnya yang berkibar di hadapan dua petugas polisi dengan perlengkapan anti huru-hara mendekatinya.
Foto Evans diabadikan saat dia sdang berunjuk rasa di Baton Rouge, Louisiana, Amerika Serikat. Foto itu sontak menjadi berita utama.
Dipuji sebagai “foto klasik instan”, foto Ieshia Evans yang diabadikan pada aksi protes Black Lives Matter kerap disandingkan dengan foto ‘Tank Man’ karya Stuart Franklin di Lapangan Tiananmen atau foto seorang demonstran anti-Perang Vietnam yang menaruh bunga di laras senapan polisi.
Evans berkomentar pada unggahan foto tersebut di Facebook:
“Saya menghargai ucapan yang baik dan ungkapan cinta, tetapi ini adalah pekerjaan Tuhan. Saya adalah sebuah wadah!”
Dia mengatakan kepada BBC: “Saya tidak merasa ‘ikonik’ – saya melakukan apa yang saya rasa harus saya lakukan… Ini di luar diri saya, ini lebih besar dari diri saya.”
Foto yang diambil oleh fotografer Jonathan Bachman ini dinilai sejumlah kalangan sebagai simbol perlawanan yang damai.
Evans adalah seorang perawat, yang sedang melakukan perjalanan ke Baton Rouge untuk memprotes penembakan fatal oleh polisi terhadap pria kulit hitam bernama Alton Sterling. Ia mengatakan kepada The Guardian:
“Saya memiliki seorang putra berusia enam tahun, Justin, dan saya lebih mengkhawatirkan nyawanya daripada nyawa saya sendiri. Bagaimana saya harus membesarkannya? Dengan ketakutan, serta tetap menundukkan kepala dan tidak terlibat masalah… Atau apakah saya akan membesarkannya dengan kekuatan?”
4. Emily Wilding Davison, Inggris, 1913
Sebuah foto yang diambil lebih dari seabad yang lalu mengungkap sebuah aksi pembangkangan yang tidak berakhir dengan damai.
Emily Wilding Davison adalah seorang suffragette (anggota organisasi perempuan awal abad ke-20 yang memperjuangkan kesetaraan hak pilih bagi perempuan). Ia tewas saat melangkah di depan kuda raja, Anmer, dalam Derby Epsom (pacuan kuda klasik di Inggris) pada 1913.
Analisis terbaru dari rekaman yang diambil melalui kamera tampaknya menunjukkan bahwa ia berusaha memasang syal ke tali kekang kuda – namun apa pun niatnya, Davison dipuji oleh beberapa orang sebagai martir, dan lambang emansipasi wanita.
5. Protes anti-pemerintah, Chile, 2016
Foto ini merupakan hasil bidikan Carlos Vera Mancilla pada 2016. Foto ini mengungkapkan kekuatan visual dari gerakan individu.
Jepretan ini diambil saat demonstrasi yang menandai peringatan 43 tahun kudeta militer yang mengakibatkan penggulingan Presiden Salvador Allende oleh Augusto Pinochet pada 11 September 1973.
Foto ini menangkap kekuatan penuh dari sebuah tatapan. Seorang pengunjuk rasa wanita yang tidak disebutkan namanya berhadapan dengan seorang polisi anti huru-hara, sembari menatap tajam ke arahnya.
Lokasinya berada di luar Pemakaman Umum Santiago – lokasi makam Allende, dan sebuah tugu peringatan bagi mereka yang “dihilangkan” selama rezim Pinochet.
6. Protes pemilihan ulang yang kontroversial, Honduras, 2017
Foto berikutnya, yang diambil di Kota Tegucigalpa, Honduras, pada tahun 2017, menunjukkan bentuk pembangkangan yang tidak terlalu konfrontatif: berbaring.
Seorang pendukung calon presiden yang kalah, Salvador Nasralla, memprotes pemilihan ulang Presiden Juan Orlando Hernández.
Dia berbaring di trotoar di depan polisi anti huru-hara. Sikapnya yang terlihat acuh tak acuh sebenarnya menunjukkan kekuatan batin.
7. Sarah Everard, Inggris, 2021
Sebuah foto yang diambil pada acara mengheningkan cipta disebarkan secara luas pada tahun 2021. Foto itu menampilkan seorang wanita diborgol dan dibawa pergi oleh petugas polisi.
Acara di Clapham Common, London, itu direncanakan sebagai penghormatan kepada Sarah Everard, yang diculik, diperkosa, dan dibunuh oleh petugas polisi Wayne Couzens.
Meskipun penyelenggara ingin acara tersebut dilakukan secara tertutup, namun acara tersebut dibatalkan setelah polisi mengatakan bahwa acara tersebut ilegal dengan dalih pembatasan karantina wilayah (Covid-19).
Patsy Stevenson, wanita dalam foto ini, kemudian mengatakan kepada BBC bahwa, beberapa saat sebelum penangkapan, sekelompok kecil perempuan mendapati diri mereka terjebak di pagar pembatas.
“Orang-orang berasumsi bahwa saya adalah bagian dari organisasi atau bagian dari kelompok protes, tetapi saya bahkan belum pernah ke protes sebelumnya… Kami hanya bersolidaritas dan bertahan di sana.”
8. Perempuan Berbaju Merah, Turki, 2013
Saat ikut serta dalam aksi protes di Taman Gezi di Istanbul pada bulan Mei 2013, Ceyda Sungur mendapati dirinya berhadapan dengan barisan polisi anti huru-hara.
Ketika salah satu dari mereka menembakkan gas air mata ke arahnya, fotografer kantor berita Reuters, Osman Orsal, mengabadikan momen tersebut. Ia telah menciptakan sebuah foto yang menjadi lambang gerakan perlawanan yang melanda Turki pada musim panas itu.
Sungar – yang kemudian dijuluki “wanita berbaju merah” – terluka, namun ia tetap tegar dan mengatakan: “Banyak orang yang tak ada bedanya dengan saya yang melindungi lingkungan, membela hak-hak mereka, membela demokrasi,” katanya.
“Mereka juga terkena gas beracun.”
9. Protes anti-pemerintah, Sudan, 2019
Gelombang demonstrasi melanda Sudan pada Desember 2018.
Pada sebuah aksi protes pada Maret 2019 di luar istana kepresidenan, seorang mahasiswa arsitektur berusia 22 tahun, Alaa Salah, difoto sedang memimpin yel-yel menentang rezim Omar al-Bashir dari atas sebuah mobil.
Dia muncul sebagai simbol revolusi, membawa perhatian dunia pada apa yang sedang terjadi di negara itu.
“Saya tidak menyangka akan disebut sebagai ikon revolusi,” katanya kepada BBC, “dan saya tidak mengeklaim bahwa saya adalah ikon revolusi. Sebaliknya, semua orang Sudan adalah ikon revolusi.”
Wartawan BBC, Zeinab Badawi, mengatakan bahwa perempuan “memberikan kontribusi yang setara dengan laki-laki dalam membantu menggulingkan Presiden Bashir dari kekuasaan, dan mereka telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mundur dari kehidupan publik setelah dia tidak ada lagi.”
10. Greenham Common, Inggris, 1982
Pada September 1981, sebanyak 36 wanita bergandengan tangan di pagar pangkalan udara militer AS di Berkshire, Inggris.
Mereka memprotes keputusan pemerintah Inggris yang mengizinkan rudal jelajah nuklir ditempatkan di RAF Greenham Common – dan mereka mendirikan kamp perdamaian yang bertahan di sana selama 19 tahun.
Pada tahun 1982, diputuskan bahwa kamp tersebut harus melibatkan perempuan saja sekaligus menciptakan identitas kolektif sebagai kaum ibu yang memprotes atas nama semua generasi mendatang.
Pada 12 Desember 1982, 30.000 wanita berpegangan tangan di sekeliling pangkalan sejauh 6 mil (9,7 km) (foto); setahun kemudian, 50.000 wanita hadir.
Hiroko Hatakeyama, yang selamat dari pengeboman Hiroshima, pergi ke kamp perdamaian. “Saya yakin ada hubungan antara apa yang dilakukan oleh para perempuan di Greenham dan pawai perempuan baru-baru ini di seluruh dunia,” katanya kepada The Guardian.
11. Yelena Osipova, Rusia, 2022
Seniman dan aktivis Rusia berusia 78 tahun, Yelena Osipova, mulai berunjuk rasa pada 2002, menyerukan kebebasan bagi para tahanan politik dan menentang intervensi Rusia di Ukraina setelah revolusi Maidan.
Sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina pada 2022, ia telah menjadi sosok yang rutin berada di jalanan Sankt Peterburg, menyuarakan perdamaian.
Meskipun telah ditangkap beberapa kali karena protesnya, ia mengatakan kepada The Moscow Times bahwa kadang-kadang petugas polisi hanya mengambil poster tanda protesnya sebelum melepaskannya.
Orang tua Osipova selamat dari Pengepungan Leningrad selama Perang Dunia Kedua, tetapi salah satu kakeknya meninggal karena kelaparan. Karena itu, dia ingin agar orang-orang belajar dari sejarah.
Ia mengatakan kepada El País: “Ketidakpedulian, kebisuan – itu adalah hal paling mengerikan yang bisa terjadi. Di sebuah poster saya menulis: ‘Semua ini terjadi karena Anda tetap diam’.”
12. Pawai Hari Perempuan Internasional, Rusia, 1917
Foto-foto dari berbagai acara seperti Slutwalk, Take Back the Night, dan Pawai Perempuan di Washington telah mencerminkan kekuatan persatuan dalam beberapa dekade terakhir.
Namun, mungkin ada satu pawai perempuan yang memiliki dampak lebih besar daripada pawai lainnya.
Foto ini menunjukkan para perempuan berbaris di Saint Peterburg pada 8 Maret 1917.
Tanggal tersebut (23 Februari dalam kalender Rusia kuno) menandai Hari Perempuan Internasional, sebuah hari penting dalam kalender sosialis. Sampai sekarang hari itu diperingati sebagai hari pertama Revolusi Rusia.
Selain membawa plakat dengan slogan-slogan patriotik, para demonstran juga menuntut perubahan seperti “Beri makan anak-anak pembela tanah air” atau “Tambahkan jatah keluarga tentara, pembela kebebasan, dan perdamaian rakyat”.
“Pada tengah hari di tahun 1917, ada puluhan ribu orang yang sebagian besar adalah perempuan berkumpul di Nevsky Prospekt, jalan utama di pusat ibu kota Rusia, Petrograd,” tulis Orlando Figes, penulis A People’s Tragedy: The Russian Revolution.
Keesokan harinya, para pengunjuk rasa memanjat patung Aleksandr III di Alun-Alun Znamenskaya, menyerukan kejatuhan monarki. Seminggu kemudian, Tsar Nikolay II turun takhta. Pawai perempuan telah menjadi sebuah revolusi.