Hari Kartini, 21 April, kita kembali diingatkan akan emansipasi wanita. Emansipasi wanita adalah gerakan kolektif yang bertujuan untuk mendefinisikan, menetapkan, dan mempertahankan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial yang setara bagi perempuan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah kebebasan dari perbudakan dan kesetaraan dalam berbagai bentuk kehidupan sosial.
Pemberlakuan emansipasi wanita di Indonesia, bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mencapai pembelajaran yang sepadan dan memperjuangkan hak-hak perempuan agar perempuan tidak dipandang berbeda dengan laki-laki di berbagai bidang.
Awal terbentuknya emansipasi wanita ini dipelopori oleh para pahlawan wanita yang memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan.
Pada hakikatnya, emansipasi wanita adalah proses pembebasan perempuan dari status sosial ekonomi rendah dan kendala hukum yang membatasi potensinya untuk berkembang dan maju.
Emansipasi wanita kini telah mengalami perjalanan yang panjang dan beragam sepanjang sejarah.
Mari kita lihat dari zaman ke zaman perkembangan emansipasi wanita:
Abad ke-19 hingga 20 (Era Kolonial)
Saat itu, kebebasan bergerak perempuan Indonesia sangat dibatasi. Negara masih dalam masa penjajahan kolonial dengan keadaan yang memprihatinkan.
Raden Ajeng Kartini, seorang pahlawan nasional Indonesia, memulai perjuangan emansipasi wanita melalui pendidikan. Kartini dan saudara-saudara perempuannya mendobrak tradisi patriarki yang menggambarkan perempuan sebagai warga negara kelas dua atau seseorang yang secara sistematis dan aktif mengalami diskriminasi di dalam suatu negara.
Dekade 1900-an
Perjuangan hak-hak perempuan bergeser pada persoalan kesetaraan gender seperti kekerasan terhadap perempuan, seksualitas, dan gender sebagai penindasan militerisme negara. Feminisme dan Hak Asasi Manusia (HAM) saling melengkapi dalam membangun gerakan yang mengungkap kekerasan negara terhadap perempuan sejak 1965.
Masa Kini
Meskipun ada kemajuan, saat ini kesenjangan gender masih menjadi masalah. Di bidang pendidikan, perempuan terus memperjuangkan kesetaraan hak dan kesetaraan akses. Selain itu, pemikiran baik dari laki-laki maupun perempuan masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi.
Gagasan ini berakar pada klise lama bahwa peran perempuan hanya sebatas mengurus anak, mengurus rumah, dan dapur. Seolah-olah pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan merupakan hal sia-sia.
Di sisi lain, kesenjangan gender tidak hanya di sektor pendidikan. Di sektor ketenagakerjaan permasalahan tersebut juga masih sering terjadi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Indonesia. Data tersebut menampilkan dari periode 2018 hingga 2022, TPAK laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan.
Berikut data TPAK yang ditampilkan, dikutip dari BPS Indonesia.
Data TPAK laki-laki di Indonesia:
- 2018: 82,8 TPAK
- 2019: 83,25 TPAK
- 2020: 82,41TPAK
- 2021: 82,27 TPAK
- 2022: 83,87 TPAK
Data TPAK perempuan di Indonesia:
- 2018: 51,8 TPAK
- 2019: 51,81TPAK
- 2020: 53,13 TPAK
- 2021: 53,34 TPAK
- 2022: 53,41TPAK
Data tersebut menampilkan dari periode 2018 hingga 2022. Bisa disimpulkan bahwa TPAK laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan TPAK perempuan.