Perempuan tidak hanya menghadapi ancaman kekerasan seksual di ranah domestik tetapi juga di ruang publik sehari-hari, seperti di lingkungan tempat kerja. Tempat kerja, baik formal maupun informal yang seharusnya jadi tempat aman bagi perempuan untuk mengaktulisasikan diri, berkarya, serta mencari penghasilan justru menjadi tempat yang rentan terhadap kekerasan seksual. Survei International Labour Office (ILO) pada September 2022 mengungkapkan 70,93 persen pekerja Indonesia pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eni Widiyanti, dalam Talkshow “Sinergi dalam Implementasi UU TPKS Menciptakan Tempat Kerja Bebas Kekerasan Seksual”, (7/12) menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan bentuk hadirnya negara dalam melindungi korban kekerasan seksual, termasuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kerja.
“UU TPKS mendorong pencegahan di lingkungan dunia kerja. Keistimewaannya, UU TPKS tidak hanya menyasar pelaku kekerasan seksual yang sifatnya individu, bahkan juga korporasi. Ketika di dunia kerja terjadi kekerasan seksual dan dari korporasinya tidak menyediakan dan melindungi korbannya, bahkan ada pembiaran dan tidak memberikan sarana prasarana untuk pekerja merasa aman dari KS, ini bisa mendapatkan ancaman hukuman. Dari denda 5 milyar hingga 15 milyar, denda membayar restitusi, hingga pencabutan izin usaha bahkan berhenti atau tidak bisa beroperasi,” tutur Eni Widiyanti.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Ditjen Binwasnaker Kementerian Ketenagakerjaan RI, Yuli Adiratna menyebut upaya penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja semakin mendapatkan perhatian serius dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja pada 29 Mei 2023. Kepmen tersebut menjelaskan cakupan TPKS, konsekuensi korporasi pelaku TPKS, hingga amanat kepada perusahaan untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual di tempat kerja.
“Kami melakukan sosialisasi terus menerus kepada seluruh pemangku kepentingan khususnya di perusahaan terkait Kepmen Nomor 88 tahun 2023. Kami juga sudah membangun adanya layanan pengaduan secara online, melalui website Kemenaker.go.id, ada perlindungan pekerja perempuan. Sampai saat ini sudah ada beberapa aduan yang masuk melalui kanal tersebut. Kemenaker juga memastikan bahwa setiap perusahaan tersebut bisa membentuk Satgas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di tempat kerja,” jelas Yuli Adiratna.
Dari sisi korporasi, L’Oreal Indonesia menjadi salah satu perusahaan yang telah menerapkan sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Chief Human Resources L’Oreal Indonesia, Yenita Oktoray mengemukakan bahwa sebagai bisnis, perusahaannya berupaya membangun rasa aman dan nyaman dalam bekerja serta memastikan semua rekan kerja bisnis menghormati kode etik perusahaan, yakni respect, transparant, integrity, dan encourage.
“Bukan hanya L’Oreal tapi juga perusahaan yang bekerja bersama kami harus mengikuti kode etik yang kami punya. Kalau ketahuan ada pelanggaran tersebut, kami bisa memutus hubungan kerja. Kami juga memastikan ada proteksi untuk memastikan karyawan merasa aman. Kami juga sudah menyiapkan sarana dan prasarana layanan untuk melapor bernama ‘Speak Up Channel’ ketika karyawan mendapat tindakan tidak adil, pelecehan atau kekerasan seksual. Di dalam pelaporan itu sudah ada kebijakan untuk memproteksi pelapor, kerahasiaannya dan anti retaliasi sehingga karyawannya merasa aman,” jelas Yenita Oktoray.
Ekosistem yang aman terhadap pekerja perempuan perlu dibangun dengan komitmen seluruh pihak di korporasi termasuk dukungan kepemimpinan perempuan. Executive Director IBCWE, Wita Kritanti menyebut permintaan melakukan pendampingan, dan konsultasi untuk membuat kebijakan terkait implementasi UU TPKS banyak didorong oleh para perempuan. Diharapkan, kesadaran ini juga banyak muncul dari pemimpin laki-laki.
“Dukungan dan dorongan untuk menangani isu-isu TPKS memang banyak datang dari perempuan. Tapi sebetulnya laki laki juga harus concern, karena ini menyangkut keberlangsungan bisnisnya. Itu yang perlu disadari oleh para pemilik bisnis, ketika mereka tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk mencegah TPKS, tidak didorong dari atas ke bawah, tidak akan jalan. Ini ujungnya mengancam keberlanjutan bisnis mereka. Belum lagi ada dendanya, bahkan yang ditakuti reputasi akan rusak. Begitu reputasi rusak, kepercayaan publik menurun dan kembali lagi akan mengancang bisnisnya,” jelas Wita Kritanti.
Sebagai rangkaian kegiatan Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, KemenPPPA bekerjasama dengan Radio Republik Indonesia menggelar Talkshow “Sinergi dalam Implementasi UU TPKS Menciptakan Tempat Kerja Bebas Kekerasan Seksual”. Kegiatan ini diharapkan dapat mengedukasi masyarakat bahwa UU TPKS menjadi titik terang upaya penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja. Dalam kegiatan tersebut juga diluncurkan Video Iklan layanan Masyarakat (ILM) terkait Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja yang diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk berani melaporkan segala bentuk tindak kekerasan seksual di tempat kerja.
Sumber : Kemenpppa